Sunday, 16 March 2014

Sastra Islam Ideologis, Why Not?

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat takut ke toko buku. Haha, pasti heran. Saya juga heran, kenapa toko buku seperti jadi phobia baru buat saya. Setelah saya analisis, karena ternyata isi toko buku di rak fiksi itu semuaaaa tentang cintaa. Tapi, cintanya ya gitu. Cinta yang mainstream. Tentang hubungan rumit, pacaran, menunggu, dan arrgh, itu yang saya tidak suka. Rasanya pengen banget manjain mata dengan novel-novel yang unik dan tidak biasa. Petualangan atau yang inspiratif. Tapi, sepertinya sulit banget. Karena sekarang yang lagi populer emang soal cinta. Ketika pun itu bercerita tentang sebuah impian dan harapan alias ambisi, cinta pasti jadi bumbu penyedap. Yah, begitulah.

Dan barusan saya tahu kenapa sastra seperti itu. Setelah sekian lama saya merasa menjadi orang yang salah jurusan, haha. Tapi, lama-lama sastra itu mengasyikkan. Meskipun saya bukan tipe perasa yang peka, tapi sedikit demi sedikit -dengan latihan- akhirnya bisa juga punya taste atau rasa tentang sastra. Meskipun belum jago banget kayak kakak saya. Kenapa dalam sastra perasaan itu menjadi sangat dominan? Karena tujuan sastra itu ditulis emang untuk membangkitkan perasaan dan emosi pembaca atau pendengar alias penikmat. Itu tujuan utama sastra ditulis. Meskipun deretannya menggunakan susunan kata dan kalimat, semua itu adalah jembatan bangkitnya perasaan dan emosi penikmatnya. Maka ide sastra adalah cara yang digunakan untuk memunculkan perasaan dan emosi dengan deretan kata serta kalimat sebagai jembatannya. Makanya kenapa yang dibahas cintaa melulu atau sesuatu yang berbau naluri. Karena emang itu muncul secara alami. Dan semua manusia punya itu. 

Namun, saat ini sastra justru berkembang sangat pesat dan kalo saya bisa bilang, sastra adalah media yang cukup ampuh untuk melakukan sebuah propaganda. Ya, sastra adalah wasilah atau sarana yang bisa digunakan untuk melakukan propaganda karena yang pertama kali disentuh oleh sastra adalah perasaan. Perasaan yang dilatarbelakangi oleh sebuah pemikiran akan mempengaruhi cara berpikir seseorang (pemahaman) dan ketika pemahaman itu berubah maka tingkah laku seseorang pun akan berubah. Dalam menciptakan karya sastra, kesan adalah tujuan utama. Sedangkan ide atau pemikiran adalah cara dan sarananya. Makanya sastra sekarang seringnya tentang cinta ataupun ambisi duniawi, semua itu tidak terlepas dari cara penulisnya memandang kehidupan ini. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini orang-orang kebanyakan memisahkan agama dengan kehidupan. Agama dianggap hanya sebatas ritual ibadah yang tidak berkorelasi dengan kehidupan. Sehingga naluri yang setiap saat dirasakan dan menuntut dipuaskan berikut kebutuhan jasmani akhirnya diatur sendiri oleh manusia. Dengan legitimasi seperti itu, akhirnya manusia bebas berperilaku sekehendaknya tanpa merasa bahwa ia diciptakan untuk diatur. 

Balik lagi ke tujuan utama sastra. Ya, kesan. Untuk menciptakan kesan maka seseorang harus punya cita rasa. Karena cita rasa atau taste akan mampu melahirkan sebuah pemahaman akan teks sastra. So, emang harus banyak latihan. Seperti kata Kakak saya, "Loe gak bakal bisa jadi editor novel kalo loe gak pernah baca novel". Ya, sekarang barulah saya ngerti kalo taste itu dilatih dengan banyak membaca teks sastra. Pantesan Kakak saya jago banget kalo merangkai kata meskipun saya jarang mendapat taste-nya karena sudah ditolak duluan sama kepala saya hehe peace kak. Beliau sudah banyak membaca teks sastra yang macamnya beda-beda. Beda banget sama saya yang anak sastra tapi bacaannya teks-teks pemikiran politik haha. Tapi, saya gak berkecil hati kok. Saya tetap anak sastra meskipun saya politisi. Gak masalah kan ahli dalam berbagai bidang selama tidak melanggar syariat? :)

Untuk menyukseskan dakwah, maka butuh opini. Tidak hanya sekedar kaderisasi massif. Nah, sastra bisa jadi wasilah. Kalo menurut saya, harus lebih banyak lagi sastra islam ideologis. Mungkin buku-buku ideologis seputar motivasi dan non fiksi sudah sangat banyak. Padahal, sastra islam ideologis itu juga perlu lho. Ketika perasaan Islam seseorang sudah bangkit dan dikaitkan dengan pemikiran Islam, in syaa Allah pemahamannya akan bisa berubah. Maka, butuh lebih banyak karya sastra ideologis untuk membantu membahasakan Islam ideologis dengan sederhana yang mampu menyentuh setiap hati pembacanya. 

Dari beberapa karya sastra ideologis yang saya baca -bukan karya keroyokan- baru satu yang bener-bener saya rasa taste-nya beda. Novel yang bikin mikir karena penulisnya bermain di alur. Dan menurut saya lumayan sulit menciptakan karya dengan alur yang rumit begitu hehe. Tunggu aja reviewnya, beserta salah satu kitab favorit saya, yang bikin saya akhirnya mau belajar untuk mencintai sastra haha :D

Khairunnisa, March 16th 2014. 04:43 PM. 

Friday, 14 March 2014

Buying March *Edisi Islamic Book Fair 2014*

Assalamu'alaikum.

Ternyata, memulai itu memang selalu jadi perkara sulit. Padahal, belum ada sebulan saya vakum nulis. Sekarang mau gerakkin jari rasanya kaku semua *plis deh, gak usah lebay*

Oke, kali ini saya cuma pengen intermezzo aja. Sekalian bersih-bersih blog. Karena blognya banyak, jadinya kecapean bersih-bersihnya. Makanya ceritanya cuma cerita intermezzo. Semoga dapat ibrah. Kalo gak ada, jangan diada-adakan, ntar saya dosa karena dikira bohong :D

Menjelang April, agenda mendadak banyak. Dan saya mendadak jadi sangat sibuk. Maklum, tiba-tiba kejatuhan amanah bejibun. Alhamdulillah masih dikasih kesempatan dan kepercayaan. Jazakumullah khair for Mb Ninik, Mb Dina dan Mb Afiqoh <3

Karena banyak agenda, otomatis menguras tenaga. Tapi, ada satu event yang gak mungkin saya lewatkan kali ini. Yup, Islamic Book Fair. Sebuah event pameran buku-buku Islami yang diadakan 3 kali dalam setahun. Kali ini IBF diselenggarakan di minggu pertama bulan ini. Haha, kagok juga sih soalnya budgetnya pas-pasan *ini aja gw masih ngutang*

Tapi, IBF kali ini beda banget sama IBF yang pernah saya datangi. Meskipun tempatnya sama, tapi karena stand bukunya agak di depan, jadi saya kagok. Biasanya stand buku ideologis itu selalu di dalam, paling pojok dan sempit *mungkin karena bukunya banyak kali ya* Sama satu lagi, gelap. Alhamdulillah kali ini agak cerah.

Sayangnya bukan cuma karena itu makanya saya bilang ini IBF yang paling beda. Tapi, karena penjaga standnya juga beda dan jujur, saya shock pas tau kalo itu penjaga stand. Kirain orang yang mau beli. Haha, gak ada tampang banget buat jualan buku
Ini buku yang berhasil saya beli :)

Tiga kali bolak-balik di hari terakhir event itu bikin saya berasa kenal lama sama tuh 2 orang aneh. Mau jaim gak bisa. Kayaknya diantara semua pembeli, cuma saya yang digituin. Dicengin berkali-kali. Mana bisa gak ketawa? Jadilah 3 kali bolak-balik udah kayak main OVJ. Ngelawak aja. IBF kali ini bener-bener gokil. Tapi, alhamdulillah buku yang saya cari ketemu juga hehe. At Tafkir karyanya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani yang sudah saya cari entah kemana, karena pas maba dulu saya sempat beli *taun kapan ya? :)*

Selain itu, saya juga beli 2 buku lain. Padahal, gak saya rencanakan. Dan itu dengan uang yang tersisa :( Tapi gak apa-apa, rizki gak kemana *di rumahnya lagi makan, eh*

I'm waiting for the next IBF sambil mikir buku apalagi yang bakal dihunting. Biar gak kalap kalo pas kesana. Apalagi kalo penjualnya kayak 2 orang itu. Hadeh -__-"

Haha, kayaknya cukup sekian intermezzo-nya. Sudah azan dan saatnya melanjutkan aktivitas :)

Khairunnisa, March 14th 2014. 02:57 PM. Ngumpulin semangat.