Satu hal yang membuatku bersyukur
ketika aku menginjakkan kaki di sekolah ini untuk pertama kalinya adalah karena
aku termasuk salah satu dari segelintir siswa yang bisa masuk ke sekolah
favorit melalui jalur beasiswa, sehingga aku tak perlu terlalu memikirkan biaya
sekolah yang bisa kupastikan takkan mampu kutanggung bersama orang tuaku.
Namun, ada satu hal lagi yang
membuatku merasa bahwa hidupku tidak sia-sia. Di sekolah yang kupikir hanya
dihuni oleh orang-orang yang serba kecukupan dan tak peduli dengan keadaan
sekitarnya ini mampu mengubahku. Mengubahku menjadi seseorang yang sebelumnya
tidak kupikirkan. Di sekolah ini aku bertemu dengan orang-orang yang luar biasa.
Mereka tidak hanya kuanggap sebagai sahabat, tetapi juga saudara karena kami
semua memiliki keyakinan yang sama bahwa Allah swt adalah satu-satunya Tuhan
yang harus disembah dan Rasulullah saw adalah utusan yang Dia utus untuk
memberi rahmat di seluruh alam raya ini dengan sebuah risalah yang sempurna,
Islam. Itulah aku yang sekarang.
Saat akhir semester dua di kelas X, aku
bergabung di organisasi kerohanian di sekolahku. Rohis atau Kerohanian Islam.
Organisasi yang paling sedikit diminati oleh siswa-siswa di sekolah favorit
sekaliber sekolahku. Kebanyakan murid-murid di sekolahku lebih tertarik dengan
OSIS, club olahraga dan seni, serta kelompok yang bersifat akademik belaka. Ya,
jumlah kami sangat sedikit dibanding organisasi dan kelompok ekstrakurikuler
lainnya di sekolah tetapi itulah yang membuat kami istimewa. Benarlah, bahwa
orang-orang istimewa itu langka karena mereka sedikit dan aku bangga bisa
bersama teman-teman di Rohis.
---
Hari ini, seperti biasa saat pulang
sekolah, lingkungan sekolahku langsung menjadi lautan manusia. Belum lagi
teman-teman yang membawa kendaraan ke sekolah. Mulai dari sepeda, sepeda motor
sampai mobil dengan harga yang tidak bisa dibilang murah.
Aku hanyalah satu diantara beberapa siswa
yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Setiap hari aku harus naik kendaraan
umum. Tetapi, aku tidak minder. Dan aku tidak ingin minder. Selama aku bisa
melaksanakan kewajibanku dengan taat pada aturan Allah, itu sudah cukup.
Seperti biasa, setelah menyelesaikan
semua urusanku di sekolah, aku pulang melewati gerbang timur sekolahku. Di sana
memang khusus untuk siswa yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Namun, hari
ini ada yang berbeda. Semoga saja aku tidak sedang mengkhayal.
Saat sedang berjalan, tiba-tiba
sebuah mobil yang tidak asing berhenti di sampingku. Pintu depan mobil langsung
terbuka. Aku kaget dan langsung menghentikan langkahku. Dari dalam mobil
seseorang mengeluarkan kepalanya.
“Rhe, pulang bareng yuk,” katanya.
Aku hampir tidak percaya dengan apa
yang aku lihat sampai aku memastikan dengan sedikit menunduk.
“Yudhis?,” hanya itu ucapan yang bisa
kukeluarkan.
“Kenapa? Kaget ya?,” katanya lagi
sambil tersenyum.
“Ng,nggak kok. Cuma aneh aja. Kamu
tiba-tiba ngajakin pulang bareng. Kayaknya iklim Indonesia belum berubah deh,
masih tropis,” aku tidak sadar dengan ucapanku. Aku tidak bermaksud bercanda.
“Apa hubungannya dengan iklim? Garing
banget. Emang salah kalo kita pulang bareng?,” tanyanya.
“Bukannya kamu pacaran sama Gizza ya?
Kemana dia? Kok gak bareng?,” kataku seadanya.
“Udah, gak usah nyebut-nyebut dia
lagi. Aku udah gak ada apa-apa sama dia,” balasnya.
Aku masih belum percaya dengan apa
yang kulihat dan kudengar. Lama aku terdiam. Aku berpikir. Erlangga Yudhistira.
Teman sekelasku sejak kelas X. Anak seorang pengusaha sukses. Sejak masuk
sekolah dia telah merebut perhatian banyak siswi termasuk senior. Semester lalu
dia terpilih sebagai wakil ketua OSIS. Selain pintar, dia juga terkenal sering
bergonta-ganti pacar. Dan semua pacarnya juga primadona sekolah. Kelasku selalu
jadi pusat perhatian 90% karena keberadaannya. Aku hampir tidak pernah bertegur
sapa dengannya. Hanya saat-saat tertentu saja dan biasanya saat itu aku akan
menjadi lawan debatnya. Apalagi dengan pemahamannya yang kesana-kemari, aku
pasti akan menyesal kalau tidak mendebat pendapatnya. Dan yang ajaib adalah
hari ini dia mengajakku pulang bersama. Sangat tidak biasa.
“Kamu kenapa Rhe? Kamu baik-baik aja
kan?,” kata-katanya membuyarkan lamunanku.
“Gak, aku gak apa-apa kok. Kayaknya
kita udah terlalu lama berdiri di sini. Udah sore. Aku harus buru-buru pulang.
Kayaknya kamu salah ngajak orang deh,” aku langsung mempercepat langkahku
meninggalkannya.
“Rhe, jangan pergi dulu!,” kata
Yudhis. Tetapi aku tidak ingin berbalik. Aku berjalan sangat cepat dan mulai
berlari kecil menghampiri angkutan umum seolah aku tidak mendengar
kata-katanya.
Saat di dalam mobil, aku beritighfar
berkali-kali.
“Ya Allah, apakah ini ujianMu yang
baru untukku?,” batinku sambil mengelus dada.
---
Handphone-ku berdering. Private
number. Kupikir tak perlu kuangkat. Sepertinya salah sambung. Di zaman
Kapitalis seperti sekarang, orang-orang menjadikan alat komunikasi untuk
hal-hal yang tidak berguna. Lebih banyak menggunakannya untuk bermaksiat daripada
untuk ibadah, dalam artian melakukan hal yang lebih berguna.
Anehnya, handphone-ku berdering lagi.
Untuk yang kesekian kalinya. Aku tidak tahan. Padahal, aku harusnya sudah tidur
daritadi. Besok ada ulangan dan aku harus mempersiapkan agenda rapat Rohis.
Akhirnya aku angkat dengan terpaksa.
“Halo? Kok lama banget ngangkatnya?,”
kata sebuah suara di seberang telepon.
“Ini siapa?,” tanyaku.
“Masa gak kenal suaraku? Padahal kita
selalu sekelas”
“Siapa sih? Ada perlu apa nelfon
malam-malam? Kalo gak penting lebih baik tutup aja,” kataku agak ketus.
“Aku gak nyangka Rhe, kamu bisa jutek
juga”
“Aku lagi gak pengen bercanda. Ini dengan
siapa dan ada perlu apa? Kamu tau gak sekarang jam berapa?”
“Iya, aku tau kok. Sekarang jam 11
lebih 10 menit 21 detik”.
“Kalo udah tau, kenapa masih telfon
jam segini? Kamu tau sekarang kamu lagi telfonan sama siapa?”
“Iya, aku tau. Aku lagi telfonan sama
Rhe, cewek jutek, nyebelin tapi sering bikin aku kepikiran”.
Astaghfirullahaladzim, sepertinya
orang ini benar-benar harus kutegasi.
“Maaf ya, aku gak ada waktu ngobrol
gak penting sama orang yang gak punya sopan santun,” aku langsung menutup teleponnya.
Namun, beberapa saat kemudian, ada
SMS. Nomor yang tidak kukenal.
Rhe, ini aku yang telfon kamu tadi.
Kamu kok ketus banget sih? Padahal kan aku Cuma pengen ngobrol. Ngomong-ngomong
kamu udah belajar buat besok?
.Yudhis.
Lagi-lagi aku terkejut. “Apa-apaan
orang ini?,” pikirku.
Sepertinya kejadian sepulang sekolah
tadi bukan sekedar kebetulan. Dan aku harus tahu apa maksudnya melakukan semua
ini.
“Ya Allah, semoga aku tidak bertindak
berdasarkan naluriku yang terbatas,” kusisipkan doa itu sebelum tidur.
---
Keterkejutanku masih berlanjut sampai
keesokkan harinya. Aku menemukan sekotak cokelat dan sebuah surat di tempat
dudukku.
“Rhe, apaan tuh?,” Alya, teman
sebangku-ku yang juga bergabung di Rohis bersamaku langsung merebut cokelat
dari tanganku sedangkan suratnya terjatuh.
“Wah, cokelat. Aku mau dong,” katanya
sambil bersiap-siap membuka bungkusan cokelat itu.
“Eh, jangan!,” kataku cepat-cepat.
“Kenapa?,” jidat Alya berkerut.
“Itu bukan punya aku. Kayaknya ada
orang salah naruh deh,” jawabku.
“Maksud kamu?”
“Ini ada suratnya,” jawabku.
“Ayo, buka!,” kata Alya.
“Gak. Nanti aja. Biar Farah lihat
dulu,” kataku.
“Rhe, biasanya sih kalo surat ada
cokelatnya, isinya pasti surat cinta”
“Ah, sembarangan aja kamu, Al. Siapa
juga yang mau ngirimin aku surat cinta? Di sekolah ini kan banyak primadona.
Dan gak ada sejarahnya anak Rohis di sekolah ini jadi primadona”
“Kali aja secret admirer kamu,
Rhe”
“Gak mungkin. Aku gak ngerasa
ngelakuin sesuatu yang bikin aku punya secret admirer”
Aku melihat sekelilingku. Dan saat
melihat ke arah pintu, pandanganku tak sengaja bertemu dengan pandangan Yudhis.
Aku langsung berbalik sambil beristighfar.
“Gak mungkin Yudhis orangnya”,
pikirku. “Astaghfirullahaladzim, ya Allah semoga aku gak ge-er”.
Sepanjang pelajaran aku beristighfar
tiada henti. Sampai akhirnya bel istirahat berbunyi. Aku dan Alya langsung ke
masjid sekolah mencari Farah, kordinator keputrian Rohis.
“Assalamualaikum,” kataku dan Alya
bersamaan.
“Waalaikumussalam warahmatullah,”
jawab Farah sambil tersenyum.
“Aku mau kamu baca ini,” kataku tanpa
basa-basi.
“Ini apa Rhe?,” Tanya Farah bingung.
“Surat, Far. Surat dari secret
admirer-nya si Rhe,” kata Alya.
“Hus! Bukan,” kataku cepat-cepat.
“Kenapa gak kamu buka sendiri aja
Rhe?,” Tanya Farah.
“Aku pengen kamu aja yang baca. Aku
gak yakin surat itu buat aku,” jawabku.
Farah lalu membuka surat itu. Di sisi
kanan kertas tertulis.
Untuk Rhe.
“Surat ini buat kamu lho Rhe,” kata
Farah kemudian.
“Hah?,” keningku berkerut.
“Ekspresinya jelek banget,” kata
Alya.
“Apaan sih?,” kataku agak kesal.
“Aku juga mau lihat, Far,” kata Alya.
Akhirnya aku juga ikut membaca surat
itu.
Aku tak mengerti mengapa semakin hari pikiran tentangmu
semakin menyita waktuku..
Berkali kuingkari, kucoba tuk hindari.
Namun, bayanganmu tak mau menyingkir dari sudut pikiranku.
Terkadang aku tak tahu aku harus berbuat apa.
Aku bertanya pada diriku sendiri, apa aku sudah gila?
Tidak, aku tidak gila. Aku hanya sedang jatuh cinta.
Jatuh cinta pada seseorang yang tidak pernah kusangka
Memasuki hatiku tanpa kuketahui..
Padahal, hari sudah berlalu begitu lama. Namun, tak juga
ingin pergi..
“Gak ada namanya,” kata Farah.
“Ih, lebay banget kata-katanya,” kata
Alya.
“Astaghfirullahaladzim,” kataku.
“Kenapa Rhe? Kok malah istighfar?,”
Tanya Alya.
“Kayaknya aku harus muhasabah deh.
Masa sih ada orang yang sampe geer sama aku? Aku gak mau dianggap godain
orang,” kataku.
“Alhamdulillah kalo kamu punya
pikiran kayak gitu. Sebaiknya kamu harus lebih hati-hati lagi Rhe,” kata Farah.
“Iya,” kataku.
“Kata-kata picisan kayak gitu wajib
dicurigai,” kata Alya.
---
Di koridor Yudhis dan teman-temannya
sedang membicarakan Rhe.
“Loe udah ngasih surat ke dia?,” kata
salah satu teman Yudhis.
“Cepet juga action loe,” tambah yang
lain.
“Gue kan udah bilang, gue gak pernah
dengan kata-kata gue. Tapi, tetep aja harus ada reward buat gue,” kata Yudhis.
“Loe yakin bisa naklukkin dia?”
“Kenapa gak? Yudhis gak pernah gagal
soal cewek,” kata Yudhis tanpa ragu.
“Iya juga sih. Jarang banget ada cewek
yang nolak loe. Primadona sekolah sekelas Gizza aja gak bisa nolak loe. Malah
mereka ngejar-ngejar loe apalagi cewek biasa kayak si Rhe?”
“Eh, itu anaknya. Bentar ya, gue
samperin dia dulu”
“Loe serius?”
“Cuma lewat cara ini gue bisa balas
dendam. Cewek itu bener-bener rese. Dia yang paling rese diantara semua anak
Rohis”
---
Aku kembali ke kelas dengan surat itu
di tanganku. Aku terus berfikir, siapa yang melakukan ini padaku? Apa dia ingin
membuat nama Rohis sekolah yang terkenal konsisten dan militan menjadi sama
saja dengan yang lain? Astaghfirullah, lagi-lagi aku beristighfar. Ya Allah,
semoga saja aku bukan termasuk wanita yang tidak bisa menjaga hati dan
kesuciannya.
“Udah baca suratnya?,” seseorang
menghampiriku.
Aku kaget. Yudhis.
“Jadi...”
“Udah baca berarti?”
“Apa maksud kamu?”
“Gak perlu pura-pura gak ngerti.
Tanya aja hati kamu,” katanya dan langsung pergi.
Aku tidak sempat mencegahnya.
Ya Allah, itu beneran Yudhis.
---
“Hah? Si Yudhis? Yang bener Rhe?,”
kata Alya tak percaya.
“Aku juga gak pengen percaya, Al.
Tapi, dianya ngomong gitu,” kataku.
“Wah, si Yudhis kok kayak gitu ya?,”
kata Alya.
“Ayo, temenin aku ke lapangan basket.
Dia ada di sana. Aku mau balikin ini,” kataku.
Akhirnya, aku dan Alya ke lapangan
basket. Hari ini memang adalah jadwal latihan Club Basket sekolah. Saat kami
datang mereka sedang bermain basket. Walau hanya latihan, banyak sekali yang
menonton terutama para siswi yang mengidolakan Yudhis. Dia memang sangat mahir
bermain basket. Tapi, tetap saja gayanya seperti remaja kebanyakan. Jauh dari
Islam.
Aku dan Alya berdiri di tribun yang
agak jauh dari kerumunan penonton. Lautan siswa yang berikhtilat. Campur
baur yang sangat lazim terlihat di kalangan remaja sekarang. Pergaulan yang
sudah rusak, karena sistem hidup yang juga rusak. Miris rasanya melihat
teman-teman seperti itu. Segala sesuatu dilihat dari fisik dan diukur dengan
uang.
“Rhe, si Yudhis nengok ke sini,” kata
Alya. Aku tersadar. Dan benar saja. Yudhis melihat ke arah kami sambil
tersenyum setelah memasukkan bola ke dalam ring dengan tembakan 3 points.
Sontak siswi-siswi langsung berteriak histeris dan meneriakkan namanya. Mereka
semua tidak tahu kalau ada dua orang lagi di atas tribun selain mereka.
“Semoga aja bukan senyum ke kita,
Al,” kataku.
“Bener-bener tuh orang. Playboy
stadium akhir. Gak puas ngegoda primadona sekolah sekarang ngegoda anak Rohis.
Kurang kerjaan,” kata Alya mulai kesal.
“Gitu deh kalo hidup Cuma buat
seneng-seneng, Al. Mengatasnamakan kesucian cinta buat memenuhi hawa nafsu,”
kataku pada Alya.
“Kamu bener, Rhe. Alhamdulillah kita
bisa dapat hidayah dengan gabung di Rohis. Kalo gak, kita bakalan sama aja
kayak mereka,” kata Alya.
Kami menunggu sampai lapangan sepi.
Kemudian, aku dan Alya menghampiri Yudhis yang sedang istirahat di bangku
pemain bersama teman-temannya. Saat aku datang, teman-teman Yudhis sibuk
menggodanya.
“Ehm, baru juga diceritain”
“Barusan anak Rohis nonton latihan
basket”
“Aku mau balikin ini,” kataku seolah
tak mendengar kata-kata teman-teman Yudhis. Aku lalu meletakkan cokelat dan
surat di bangku.
“Kok dibalikin? Itu buat kamu,” kata
Yudhis.
“Aku gak bisa nerima ini. Ini bukan
hak aku,” balasku.
“Aku kan ngasihnya ikhlas, Rhe,” kata
Yudhis lagi.
“Ikhlas aja gak cukup. Caranya harus
bener. Cara kamu salah, Yudhis. Kamu gak seharusnya ngasih ini ke aku. Dalam
Islam bukan kayak gini cara ngasih hadiah, apalagi ke lawan jenis. Semua ada
aturannya. Begitupun dengan mengekspresikan cinta. Islam gak pernah mengajarkan
untuk mengekspresikan cinta dengan hawa nafsu kita sendiri. Cara kamu salah
meski mungkin kamu sungguh-sungguh. Dan itu sia-sia. Justru harusnya kamu yang
nanya hati kamu, apa itu beneran cinta? Atau ada hal lain dibalik kata-kata
cinta itu? Cinta terlalu suci untuk dijadikan bahan lelucon. Aku gak minta
pembuktian dari kamu. Aku juga gak nantangin kamu. Merenunglah. Kamu udah bisa
mikir. Aku yakin kamu gak bodoh,” aku menjelaskan panjang-lebar di hadapan
mereka semua. Teman-teman Yudhis melongo mendengar penjelasanku. Yudhis hanya
terdiam. Entah dia sedang mencerna kata-kataku untuk memikirkannya ataukah dia
sedang menahan emosinya.
“Kayaknya aku udah terlalu banyak
ngomong. Aku permisi. Assalamualaikum,” kataku langsung pergi diikuti Alya.
---
Setelah hari itu, Yudhis sudah tidak
pernah menggangguku lagi. Di sekolah, lewat telepon ataupun SMS. Dia juga mulai
berubah. Dia jadi lebih pendiam dan tidak tebar pesona lagi. Dan yang paling
mencengangkan adalah sekarang dia lebih sering di mushola bersama teman-teman
rohis. Teman-temannya pun kadang bersamanya. Dia juga sudah jarang ada di
lapangan basket. Sepertinya dia mulai serius dalam OSIS yang dulu sering
diabaikannya. Dia hanya menggunakan OSIS untuk kepentingannya. Tak jarang kami
adu argumen karena ide-idenya yang menurutku sangat tidak baik. Sekarang,
sepertinya dia lebih serius. Dia juga jarang terlihat pulang bersama lawan
jenisnya lagi.
Tetapi, hari ini aku kembali
menemukan sebuah amplop berisi surat di laci mejaku. Aku cepat-cepat membukanya
dan mulai membacanya.
Untuk Rhe.
Aku minta maaf kalo lagi-lagi aku
lancang naruh surat di laci meja kamu. Tapi, aku pengen kamu tahu kalo surat
ini beda dengan suratku yang kemarin.
Pertama, aku minta maaf karena udah
gangguin kamu. Wajar kalo kamu jadi kesal dan tambah antipati sama aku. Aku
juga minta maaf karena waktu itu aku sengaja kayak gitu dan semua itu untuk
balas dendam sama kamu. Aku gak suka dengan sikap kamu yang menurutku terlalu
sok paling bener dalam segala hal. Kamu selalu bawa-bawa Islam setiap kali kita
adu argumen. Sekarang, aku mulai mengerti kenapa kamu begitu keras kepala
dengan pendapat-pendapat kamu waktu itu.
Kedua, aku berterima kasih sama kamu.
Penjelasan kamu waktu itu bikin aku berpikir lama banget sampai akhirnya
terbersit keinginan untuk tahu apa yang sebenarnya kamu dapatkan di Rohis. Dan
saat aku tahu apa yang kalian pelajari di sana, aku seperti ditampar. Ternyata,
selama ini aku hidup dalam kesia-siaan.
Kamu bener Rhe, aku yang harusnya
nanya hati aku. Semoga Allah masih mau ngasih ampunanNya untuk aku atas semua
kesalahan-kesalahanku. Atas cinta yang aku kotori dengan hawa nafsuku. Padahal,
hanya kepadaNya harusnya aku memberi cintaku dan mencintai yang lain hanya
karenaNya.
Setelah hari ini, aku akan mendekati
Allah lebih dari sebelumnya. Aku akan mencintaiNya dengan cinta yang
sebenarnya. Aku akan memberikan hatiku dan hidupku untuk selalu taat kepadaNya.
Seperti kamu.
Terima kasih, Rhe,
Jika Allah mengizinkan aku mencintai
seseorang karenaNya, aku ingin mencintai orang seperti kamu karena Dia.
Yudhis.
Kulipat surat itu sambil tersenyum.
Alhamdulillah, ternyata dia merenungi kata-kataku waktu itu.
“Hayoo, ada apa senyum-senyum
sendiri?,” Alya tiba-tiba datang.
“Alya, aku kaget,” kataku.
“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?,”
Tanya Alya.
“Ada deh,” kataku menggodanya.
“Aaah, Rhe. Jangan gitu. Kamu
sekarang mulai rahasia-rahasiaan ya sama aku?,” kata Alya.
“Nanti aja aku kasih tau. Bentar lagi
masuk,” kataku.
“Janji ya,” kata Alya.
“Iya,” balasku.
“Gitu dong. Rhe baik deh. Uhibbuki
fillah,” katanya sambil tersenyum. Dia akan berkata seperti itu setiap kali aku
mengabulkan keinginannya.
Yudhis. Syukurlah, dia mulai bisa
memahami apa yang seharusnya dia lakukan. Siapa yang harus dia cintai lebih
dari apapun. Sekarang, kita sedang belajar. Belajar untuk memahami agamaNya.
Dan berusaha mencintaiNya dengan sebenar-benarnya cinta serta mewujudkannya
dengan ketaatan yang sempurna serta berjuang demi tegaknya agamaNya hingga ajal
menjemput.
-SELESAI-
Semoga
aku bisa setegas dan se-istiqomah Rhe.
Malang,
August, 17th 2011 M
Ramadhan,
17th 1432 H @ 11:53 AM. Menjelang sholat Dhuhur.
Special for Amelia Kurniawati yang udah mau baca cerpen super amatir ini :D