Friday, 21 February 2014

CINTAKAH???

Satu hal yang membuatku bersyukur ketika aku menginjakkan kaki di sekolah ini untuk pertama kalinya adalah karena aku termasuk salah satu dari segelintir siswa yang bisa masuk ke sekolah favorit melalui jalur beasiswa, sehingga aku tak perlu terlalu memikirkan biaya sekolah yang bisa kupastikan takkan mampu kutanggung bersama orang tuaku.
Namun, ada satu hal lagi yang membuatku merasa bahwa hidupku tidak sia-sia. Di sekolah yang kupikir hanya dihuni oleh orang-orang yang serba kecukupan dan tak peduli dengan keadaan sekitarnya ini mampu mengubahku. Mengubahku menjadi seseorang yang sebelumnya tidak kupikirkan. Di sekolah ini aku bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Mereka tidak hanya kuanggap sebagai sahabat, tetapi juga saudara karena kami semua memiliki keyakinan yang sama bahwa Allah swt adalah satu-satunya Tuhan yang harus disembah dan Rasulullah saw adalah utusan yang Dia utus untuk memberi rahmat di seluruh alam raya ini dengan sebuah risalah yang sempurna, Islam. Itulah aku yang sekarang.
Saat akhir semester dua di kelas X, aku bergabung di organisasi kerohanian di sekolahku. Rohis atau Kerohanian Islam. Organisasi yang paling sedikit diminati oleh siswa-siswa di sekolah favorit sekaliber sekolahku. Kebanyakan murid-murid di sekolahku lebih tertarik dengan OSIS, club olahraga dan seni, serta kelompok yang bersifat akademik belaka. Ya, jumlah kami sangat sedikit dibanding organisasi dan kelompok ekstrakurikuler lainnya di sekolah tetapi itulah yang membuat kami istimewa. Benarlah, bahwa orang-orang istimewa itu langka karena mereka sedikit dan aku bangga bisa bersama teman-teman di Rohis.
---
Hari ini, seperti biasa saat pulang sekolah, lingkungan sekolahku langsung menjadi lautan manusia. Belum lagi teman-teman yang membawa kendaraan ke sekolah. Mulai dari sepeda, sepeda motor sampai mobil dengan harga yang tidak bisa dibilang murah.
Aku hanyalah satu diantara beberapa siswa yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Setiap hari aku harus naik kendaraan umum. Tetapi, aku tidak minder. Dan aku tidak ingin minder. Selama aku bisa melaksanakan kewajibanku dengan taat pada aturan Allah, itu sudah cukup.
Seperti biasa, setelah menyelesaikan semua urusanku di sekolah, aku pulang melewati gerbang timur sekolahku. Di sana memang khusus untuk siswa yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Namun, hari ini ada yang berbeda. Semoga saja aku tidak sedang mengkhayal.
Saat sedang berjalan, tiba-tiba sebuah mobil yang tidak asing berhenti di sampingku. Pintu depan mobil langsung terbuka. Aku kaget dan langsung menghentikan langkahku. Dari dalam mobil seseorang mengeluarkan kepalanya.
“Rhe, pulang bareng yuk,” katanya.
Aku hampir tidak percaya dengan apa yang aku lihat sampai aku memastikan dengan sedikit menunduk.
“Yudhis?,” hanya itu ucapan yang bisa kukeluarkan.
“Kenapa? Kaget ya?,” katanya lagi sambil tersenyum.
“Ng,nggak kok. Cuma aneh aja. Kamu tiba-tiba ngajakin pulang bareng. Kayaknya iklim Indonesia belum berubah deh, masih tropis,” aku tidak sadar dengan ucapanku. Aku tidak bermaksud bercanda.
“Apa hubungannya dengan iklim? Garing banget. Emang salah kalo kita pulang bareng?,” tanyanya.
“Bukannya kamu pacaran sama Gizza ya? Kemana dia? Kok gak bareng?,” kataku seadanya.
“Udah, gak usah nyebut-nyebut dia lagi. Aku udah gak ada apa-apa sama dia,” balasnya.
Aku masih belum percaya dengan apa yang kulihat dan kudengar. Lama aku terdiam. Aku berpikir. Erlangga Yudhistira. Teman sekelasku sejak kelas X. Anak seorang pengusaha sukses. Sejak masuk sekolah dia telah merebut perhatian banyak siswi termasuk senior. Semester lalu dia terpilih sebagai wakil ketua OSIS. Selain pintar, dia juga terkenal sering bergonta-ganti pacar. Dan semua pacarnya juga primadona sekolah. Kelasku selalu jadi pusat perhatian 90% karena keberadaannya. Aku hampir tidak pernah bertegur sapa dengannya. Hanya saat-saat tertentu saja dan biasanya saat itu aku akan menjadi lawan debatnya. Apalagi dengan pemahamannya yang kesana-kemari, aku pasti akan menyesal kalau tidak mendebat pendapatnya. Dan yang ajaib adalah hari ini dia mengajakku pulang bersama. Sangat tidak biasa.
“Kamu kenapa Rhe? Kamu baik-baik aja kan?,” kata-katanya membuyarkan lamunanku.
“Gak, aku gak apa-apa kok. Kayaknya kita udah terlalu lama berdiri di sini. Udah sore. Aku harus buru-buru pulang. Kayaknya kamu salah ngajak orang deh,” aku langsung mempercepat langkahku meninggalkannya.
“Rhe, jangan pergi dulu!,” kata Yudhis. Tetapi aku tidak ingin berbalik. Aku berjalan sangat cepat dan mulai berlari kecil menghampiri angkutan umum seolah aku tidak mendengar kata-katanya.
Saat di dalam mobil, aku beritighfar berkali-kali.
“Ya Allah, apakah ini ujianMu yang baru untukku?,” batinku sambil mengelus dada.
---
Handphone-ku berdering. Private number. Kupikir tak perlu kuangkat. Sepertinya salah sambung. Di zaman Kapitalis seperti sekarang, orang-orang menjadikan alat komunikasi untuk hal-hal yang tidak berguna. Lebih banyak menggunakannya untuk bermaksiat daripada untuk ibadah, dalam artian melakukan hal yang lebih berguna.
Anehnya, handphone-ku berdering lagi. Untuk yang kesekian kalinya. Aku tidak tahan. Padahal, aku harusnya sudah tidur daritadi. Besok ada ulangan dan aku harus mempersiapkan agenda rapat Rohis. Akhirnya aku angkat dengan terpaksa.
“Halo? Kok lama banget ngangkatnya?,” kata sebuah suara di seberang telepon.
“Ini siapa?,” tanyaku.
“Masa gak kenal suaraku? Padahal kita selalu sekelas”
“Siapa sih? Ada perlu apa nelfon malam-malam? Kalo gak penting lebih baik tutup aja,” kataku agak ketus.
“Aku gak nyangka Rhe, kamu bisa jutek juga”
“Aku lagi gak pengen bercanda. Ini dengan siapa dan ada perlu apa? Kamu tau gak sekarang jam berapa?”
“Iya, aku tau kok. Sekarang jam 11 lebih 10 menit 21 detik”.
“Kalo udah tau, kenapa masih telfon jam segini? Kamu tau sekarang kamu lagi telfonan sama siapa?”
“Iya, aku tau. Aku lagi telfonan sama Rhe, cewek jutek, nyebelin tapi sering bikin aku kepikiran”.
Astaghfirullahaladzim, sepertinya orang ini benar-benar harus kutegasi.
“Maaf ya, aku gak ada waktu ngobrol gak penting sama orang yang gak punya sopan santun,” aku langsung menutup teleponnya.
Namun, beberapa saat kemudian, ada SMS. Nomor yang tidak kukenal.
Rhe, ini aku yang telfon kamu tadi. Kamu kok ketus banget sih? Padahal kan aku Cuma pengen ngobrol. Ngomong-ngomong kamu udah belajar buat besok?
.Yudhis.
Lagi-lagi aku terkejut. “Apa-apaan orang ini?,” pikirku.
Sepertinya kejadian sepulang sekolah tadi bukan sekedar kebetulan. Dan aku harus tahu apa maksudnya melakukan semua ini.
“Ya Allah, semoga aku tidak bertindak berdasarkan naluriku yang terbatas,” kusisipkan doa itu sebelum tidur.
---
Keterkejutanku masih berlanjut sampai keesokkan harinya. Aku menemukan sekotak cokelat dan sebuah surat di tempat dudukku.
“Rhe, apaan tuh?,” Alya, teman sebangku-ku yang juga bergabung di Rohis bersamaku langsung merebut cokelat dari tanganku sedangkan suratnya terjatuh.
“Wah, cokelat. Aku mau dong,” katanya sambil bersiap-siap membuka bungkusan cokelat itu.
“Eh, jangan!,” kataku cepat-cepat.
“Kenapa?,” jidat Alya berkerut.
“Itu bukan punya aku. Kayaknya ada orang salah naruh deh,” jawabku.
“Maksud kamu?”
“Ini ada suratnya,” jawabku.
“Ayo, buka!,” kata Alya.
“Gak. Nanti aja. Biar Farah lihat dulu,” kataku.
“Rhe, biasanya sih kalo surat ada cokelatnya, isinya pasti surat cinta”
“Ah, sembarangan aja kamu, Al. Siapa juga yang mau ngirimin aku surat cinta? Di sekolah ini kan banyak primadona. Dan gak ada sejarahnya anak Rohis di sekolah ini jadi primadona”
“Kali aja secret admirer kamu, Rhe”
“Gak mungkin. Aku gak ngerasa ngelakuin sesuatu yang bikin aku punya secret admirer
Aku melihat sekelilingku. Dan saat melihat ke arah pintu, pandanganku tak sengaja bertemu dengan pandangan Yudhis. Aku langsung berbalik sambil beristighfar.
“Gak mungkin Yudhis orangnya”, pikirku. “Astaghfirullahaladzim, ya Allah semoga aku gak ge-er”.
Sepanjang pelajaran aku beristighfar tiada henti. Sampai akhirnya bel istirahat berbunyi. Aku dan Alya langsung ke masjid sekolah mencari Farah, kordinator keputrian Rohis.
“Assalamualaikum,” kataku dan Alya bersamaan.
“Waalaikumussalam warahmatullah,” jawab Farah sambil tersenyum.
“Aku mau kamu baca ini,” kataku tanpa basa-basi.
“Ini apa Rhe?,” Tanya Farah bingung.
“Surat, Far. Surat dari secret admirer-nya si Rhe,” kata Alya.
“Hus! Bukan,” kataku cepat-cepat.
“Kenapa gak kamu buka sendiri aja Rhe?,” Tanya Farah.
“Aku pengen kamu aja yang baca. Aku gak yakin surat itu buat aku,” jawabku.
Farah lalu membuka surat itu. Di sisi kanan kertas tertulis.
Untuk Rhe.
“Surat ini buat kamu lho Rhe,” kata Farah kemudian.
“Hah?,” keningku berkerut.
“Ekspresinya jelek banget,” kata Alya.
“Apaan sih?,” kataku agak kesal.
“Aku juga mau lihat, Far,” kata Alya.
Akhirnya aku juga ikut membaca surat itu.
Aku tak mengerti mengapa semakin hari pikiran tentangmu semakin menyita waktuku..
Berkali kuingkari, kucoba tuk hindari.
Namun, bayanganmu tak mau menyingkir dari sudut pikiranku.
Terkadang aku tak tahu aku harus berbuat apa.
Aku bertanya pada diriku sendiri, apa aku sudah gila?
Tidak, aku tidak gila. Aku hanya sedang jatuh cinta.
Jatuh cinta pada seseorang yang tidak pernah kusangka
Memasuki hatiku tanpa kuketahui..
Padahal, hari sudah berlalu begitu lama. Namun, tak juga ingin pergi..
“Gak ada namanya,” kata Farah.
“Ih, lebay banget kata-katanya,” kata Alya.
“Astaghfirullahaladzim,” kataku.
“Kenapa Rhe? Kok malah istighfar?,” Tanya Alya.
“Kayaknya aku harus muhasabah deh. Masa sih ada orang yang sampe geer sama aku? Aku gak mau dianggap godain orang,” kataku.
“Alhamdulillah kalo kamu punya pikiran kayak gitu. Sebaiknya kamu harus lebih hati-hati lagi Rhe,” kata Farah.
“Iya,” kataku.
“Kata-kata picisan kayak gitu wajib dicurigai,” kata Alya.
---
Di koridor Yudhis dan teman-temannya sedang membicarakan Rhe.
“Loe udah ngasih surat ke dia?,” kata salah satu teman Yudhis.
“Cepet juga action loe,” tambah yang lain.
“Gue kan udah bilang, gue gak pernah dengan kata-kata gue. Tapi, tetep aja harus ada reward  buat gue,” kata Yudhis.
“Loe yakin bisa naklukkin dia?”
“Kenapa gak? Yudhis gak pernah gagal soal cewek,” kata Yudhis tanpa ragu.
“Iya juga sih. Jarang banget ada cewek yang nolak loe. Primadona sekolah sekelas Gizza aja gak bisa nolak loe. Malah mereka ngejar-ngejar loe apalagi cewek biasa kayak si Rhe?”
“Eh, itu anaknya. Bentar ya, gue samperin dia dulu”
“Loe serius?”
“Cuma lewat cara ini gue bisa balas dendam. Cewek itu bener-bener rese. Dia yang paling rese diantara semua anak Rohis”
---
Aku kembali ke kelas dengan surat itu di tanganku. Aku terus berfikir, siapa yang melakukan ini padaku? Apa dia ingin membuat nama Rohis sekolah yang terkenal konsisten dan militan menjadi sama saja dengan yang lain? Astaghfirullah, lagi-lagi aku beristighfar. Ya Allah, semoga saja aku bukan termasuk wanita yang tidak bisa menjaga hati dan kesuciannya.
“Udah baca suratnya?,” seseorang menghampiriku.
Aku kaget. Yudhis.
“Jadi...”
“Udah baca berarti?”
“Apa maksud kamu?”
“Gak perlu pura-pura gak ngerti. Tanya aja hati kamu,” katanya dan langsung pergi.
Aku tidak sempat mencegahnya.
Ya Allah, itu beneran Yudhis.
---
“Hah? Si Yudhis? Yang bener Rhe?,” kata Alya tak percaya.
“Aku juga gak pengen percaya, Al. Tapi, dianya ngomong gitu,” kataku.
“Wah, si Yudhis kok kayak gitu ya?,” kata Alya.
“Ayo, temenin aku ke lapangan basket. Dia ada di sana. Aku mau balikin ini,” kataku.
Akhirnya, aku dan Alya ke lapangan basket. Hari ini memang adalah jadwal latihan Club Basket sekolah. Saat kami datang mereka sedang bermain basket. Walau hanya latihan, banyak sekali yang menonton terutama para siswi yang mengidolakan Yudhis. Dia memang sangat mahir bermain basket. Tapi, tetap saja gayanya seperti remaja kebanyakan. Jauh dari Islam.
Aku dan Alya berdiri di tribun yang agak jauh dari kerumunan penonton. Lautan siswa yang berikhtilat. Campur baur yang sangat lazim terlihat di kalangan remaja sekarang. Pergaulan yang sudah rusak, karena sistem hidup yang juga rusak. Miris rasanya melihat teman-teman seperti itu. Segala sesuatu dilihat dari fisik dan diukur dengan uang.
“Rhe, si Yudhis nengok ke sini,” kata Alya. Aku tersadar. Dan benar saja. Yudhis melihat ke arah kami sambil tersenyum setelah memasukkan bola ke dalam ring dengan tembakan 3 points. Sontak siswi-siswi langsung berteriak histeris dan meneriakkan namanya. Mereka semua tidak tahu kalau ada dua orang lagi di atas tribun selain mereka.
“Semoga aja bukan senyum ke kita, Al,” kataku.
“Bener-bener tuh orang. Playboy stadium akhir. Gak puas ngegoda primadona sekolah sekarang ngegoda anak Rohis. Kurang kerjaan,” kata Alya mulai kesal.
“Gitu deh kalo hidup Cuma buat seneng-seneng, Al. Mengatasnamakan kesucian cinta buat memenuhi hawa nafsu,” kataku pada Alya.
“Kamu bener, Rhe. Alhamdulillah kita bisa dapat hidayah dengan gabung di Rohis. Kalo gak, kita bakalan sama aja kayak mereka,” kata Alya.
Kami menunggu sampai lapangan sepi. Kemudian, aku dan Alya menghampiri Yudhis yang sedang istirahat di bangku pemain bersama teman-temannya. Saat aku datang, teman-teman Yudhis sibuk menggodanya.
“Ehm, baru juga diceritain”
“Barusan anak Rohis nonton latihan basket”
“Aku mau balikin ini,” kataku seolah tak mendengar kata-kata teman-teman Yudhis. Aku lalu meletakkan cokelat dan surat di bangku.
“Kok dibalikin? Itu buat kamu,” kata Yudhis.
“Aku gak bisa nerima ini. Ini bukan hak aku,” balasku.
“Aku kan ngasihnya ikhlas, Rhe,” kata Yudhis lagi.
“Ikhlas aja gak cukup. Caranya harus bener. Cara kamu salah, Yudhis. Kamu gak seharusnya ngasih ini ke aku. Dalam Islam bukan kayak gini cara ngasih hadiah, apalagi ke lawan jenis. Semua ada aturannya. Begitupun dengan mengekspresikan cinta. Islam gak pernah mengajarkan untuk mengekspresikan cinta dengan hawa nafsu kita sendiri. Cara kamu salah meski mungkin kamu sungguh-sungguh. Dan itu sia-sia. Justru harusnya kamu yang nanya hati kamu, apa itu beneran cinta? Atau ada hal lain dibalik kata-kata cinta itu? Cinta terlalu suci untuk dijadikan bahan lelucon. Aku gak minta pembuktian dari kamu. Aku juga gak nantangin kamu. Merenunglah. Kamu udah bisa mikir. Aku yakin kamu gak bodoh,” aku menjelaskan panjang-lebar di hadapan mereka semua. Teman-teman Yudhis melongo mendengar penjelasanku. Yudhis hanya terdiam. Entah dia sedang mencerna kata-kataku untuk memikirkannya ataukah dia sedang menahan emosinya.
“Kayaknya aku udah terlalu banyak ngomong. Aku permisi. Assalamualaikum,” kataku langsung pergi diikuti Alya.
---
Setelah hari itu, Yudhis sudah tidak pernah menggangguku lagi. Di sekolah, lewat telepon ataupun SMS. Dia juga mulai berubah. Dia jadi lebih pendiam dan tidak tebar pesona lagi. Dan yang paling mencengangkan adalah sekarang dia lebih sering di mushola bersama teman-teman rohis. Teman-temannya pun kadang bersamanya. Dia juga sudah jarang ada di lapangan basket. Sepertinya dia mulai serius dalam OSIS yang dulu sering diabaikannya. Dia hanya menggunakan OSIS untuk kepentingannya. Tak jarang kami adu argumen karena ide-idenya yang menurutku sangat tidak baik. Sekarang, sepertinya dia lebih serius. Dia juga jarang terlihat pulang bersama lawan jenisnya lagi.
Tetapi, hari ini aku kembali menemukan sebuah amplop berisi surat di laci mejaku. Aku cepat-cepat membukanya dan mulai membacanya.
Untuk Rhe.
Aku minta maaf kalo lagi-lagi aku lancang naruh surat di laci meja kamu. Tapi, aku pengen kamu tahu kalo surat ini beda dengan suratku yang kemarin.
Pertama, aku minta maaf karena udah gangguin kamu. Wajar kalo kamu jadi kesal dan tambah antipati sama aku. Aku juga minta maaf karena waktu itu aku sengaja kayak gitu dan semua itu untuk balas dendam sama kamu. Aku gak suka dengan sikap kamu yang menurutku terlalu sok paling bener dalam segala hal. Kamu selalu bawa-bawa Islam setiap kali kita adu argumen. Sekarang, aku mulai mengerti kenapa kamu begitu keras kepala dengan pendapat-pendapat kamu waktu itu.
Kedua, aku berterima kasih sama kamu. Penjelasan kamu waktu itu bikin aku berpikir lama banget sampai akhirnya terbersit keinginan untuk tahu apa yang sebenarnya kamu dapatkan di Rohis. Dan saat aku tahu apa yang kalian pelajari di sana, aku seperti ditampar. Ternyata, selama ini aku hidup dalam kesia-siaan.
Kamu bener Rhe, aku yang harusnya nanya hati aku. Semoga Allah masih mau ngasih ampunanNya untuk aku atas semua kesalahan-kesalahanku. Atas cinta yang aku kotori dengan hawa nafsuku. Padahal, hanya kepadaNya harusnya aku memberi cintaku dan mencintai yang lain hanya karenaNya.  
Setelah hari ini, aku akan mendekati Allah lebih dari sebelumnya. Aku akan mencintaiNya dengan cinta yang sebenarnya. Aku akan memberikan hatiku dan hidupku untuk selalu taat kepadaNya. Seperti kamu.
Terima kasih, Rhe,
Jika Allah mengizinkan aku mencintai seseorang karenaNya, aku ingin mencintai orang seperti kamu karena Dia.
Yudhis.

Kulipat surat itu sambil tersenyum. Alhamdulillah, ternyata dia merenungi kata-kataku waktu itu.
“Hayoo, ada apa senyum-senyum sendiri?,” Alya tiba-tiba datang.
“Alya, aku kaget,” kataku.
“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?,” Tanya Alya.
“Ada deh,” kataku menggodanya.
“Aaah, Rhe. Jangan gitu. Kamu sekarang mulai rahasia-rahasiaan ya sama aku?,” kata Alya.
“Nanti aja aku kasih tau. Bentar lagi masuk,” kataku.
“Janji ya,” kata Alya.
“Iya,” balasku.
“Gitu dong. Rhe baik deh. Uhibbuki fillah,” katanya sambil tersenyum. Dia akan berkata seperti itu setiap kali aku mengabulkan keinginannya.
Yudhis. Syukurlah, dia mulai bisa memahami apa yang seharusnya dia lakukan. Siapa yang harus dia cintai lebih dari apapun. Sekarang, kita sedang belajar. Belajar untuk memahami agamaNya. Dan berusaha mencintaiNya dengan sebenar-benarnya cinta serta mewujudkannya dengan ketaatan yang sempurna serta berjuang demi tegaknya agamaNya hingga ajal menjemput.

-SELESAI-


Semoga aku bisa setegas dan se-istiqomah Rhe.
Malang, August, 17th 2011 M
Ramadhan, 17th 1432 H @ 11:53 AM. Menjelang sholat Dhuhur.


Special for Amelia Kurniawati yang udah mau baca cerpen super amatir ini :D 

Aku Cantik *Unofficial Title*

-Cantik adalah nama yang Ayah dan Bunda berikan sebagai rasa syukur karena bisa memiliki anak perempuan. Cantik itu adalah harapan semoga bukan hanya kecantikan yang ada di fisik saja, tetapi juga kecantikan dalam kepribadian-
-Cantik bukan karena semua orang bisa melihat keelokan tubuhmu. Cantik bukan dilihat dari tinggi yang semampai, kaki yang indah, tubuh yang langsing, kulit yang putih dan mulus atau wajah yang memesona. Cantik itu karena ketaatan. Ketaatan yang lahir dari keimanan-
***
Namaku Cantik. Sampai saat ini aku masih tidak mengerti mengapa Bunda memberiku nama itu. Setiap kali kutanya, jawabannya hanya, “Masa Kakak sama Adek yang dinamain kayak gitu? Kan gak lucu”. Menurutku, nama itu sangat tidak sesuai dengan diriku. Sampai saat ini pun aku masih beranggapan seperti itu.
Aku memandangi diriku di cermin. Mencari alasan untuk membenarkan pendapat Bunda. Aku lalu membayangkan teman-teman sekelasku di kampus. Mereka lebih pantas dengan nama itu, masih menurutku. Mungkin lebih tepatnya aku masih tidak percaya diri dengan nama yang kusandang itu. Aku juga membayangkan majalah Korea milik mereka yang hampir setiap edisi menampilkan girlband yang cantiknya terlalu sempurna untuk ukuran manusia. Sebut saja SNSD, After School, T-Ara, Fx, Miss A dan masih banyak lagi yang tidak bisa kusebutkan saking banyaknya. Dan sekarang yang sedang disukai oleh kaum adam termasuk adik bungsuku adalah JKT48. Fiewh, sepertinya negara ini sukses mengeksploitasi tubuh-tubuh cantik wanita.
Aku memutar badanku. Lalu bergumam.
“Cantik darimananya sih? Muka biasa aja. Tinggi cuma segini, langsing gak. Putih mulus juga gak segitunya. Biasa aja. Apanya yang cantik coba?”

***
Aku dikagetkan oleh suara pintu kamarku yang dibuka dengan cukup keras. Masih dengan keadaan mematung di depan cermin.
“Egyyyyyyy!!! Bisa gak sih ketuk pintu dulu?,” kataku kesal. Adikku yang satu ini sangat suka seenaknya sendiri. 
“Hehe, sorry Kak. Egy ulang lagi ya?,” dia lalu keluar dan menutup pintu lalu mengetuknya.
“Udah telat. Ada apa? Mau minta apa lagi?,” kataku padanya.
“Idiieeh, jutek banget sih Kakak ini. Udah bagus namanya Cantik, tapi jutek. Ntar susah jodoh lho. Contoh tuh Kak Farah. Udah cantik, baik, sholehah pula. Pantes aja Kak Ezy jatuh cinta. Lha, Kak Cantik juteknya minta ampun,” katanya dengan ekspresinya yang menurutku sangat menyebalkan. Kalau saja dia bukan adikku, sudah kutendang dia dari rumah.
“Berisik. Cepat, ngomong. Mau ngapain? Kakak lagi sibuk, kalau mau minta bantuin ngerjain PR, minta bantu sama Kak Elang aja,” balasku ketus.
Wajahnya langsung berubah.
“Ah, Kakak gak asik! Kak Elang lagi keluar. Kan Egy gak mungkin minta tolong sama Kak Ezy,” kata Egy.
“Manja banget sih kamu. Anak cowok itu gak boleh manja. Besok-besok PRnya dikerjain sendiri. Kalo udah bener-bener gak bisa baru minta tolong,” kataku lagi.
“Oke deh Kakak. Kalo gitu, Kakak jadi cantik kayak Princess,” kata Egy.
“Tapi gak mungkin bisa ngalahin JKT48 kan?,” sindirku.
“Hehe, tau aja,” Egy tersenyum malu.
“Huuu, dasar!,” aku lalu melemparnya dengan bantal.
“Oya, Kakak tadi ngapain ngelamun di depan cermin? Mau tanyain siapa cewek tercantik di jagad raya?,” Egy mulai lagi.
“Heh, mau dibantuin gak PRnya? Kalau mau dibantuin jangan berisik!,” ancamku padanya sambil menyembunyikan rasa malu karena ketahuan adikku yang satu itu.
***
Rumahku bisa dibilang cukup ramai. Semua saudaraku laki-laki. Kakakku yang pertama baru saja menikah. Dan Kakakku yang kedua berada dua tahun di atasku. Menurutku, dua Kakakku itu aneh. Kak Ezy, Kakakku yang pertama menikah dengan cara yang menurutku sangat tidak masuk akal. Orang-orang kebanyakan pasti punya pacar sebelum menikah. Tapi, Kak Ezy tidak melakukan itu. Katanya, “Ngapain pacaran kalo gak serius ke arah pernikahan?” Dan benar, sekali ketemu sama Kak Farah, istrinya, langsung dilamar dan menikah. Waktu itu Ayah dan Bunda sedikit shock dengan keputusan Kak Ezy.  Menurut mereka, Kak Ezy terlalu terburu-buru. Tapi, bukan Kak Ezy kalau tidak bisa bernegosiasi. Ditambah lagi ada Kak Elang. Aku dan Egy hanya bisa menjadi penonton terbaik saat ada debat terbuka di rumah. Dan akhirnya sekarang semua baik-baik saja. Kak Ezy berhasil membuktikan kalau dia tidak salah memilih pendamping hidup. Kak Farah begitu cantik, anggun dan penyayang. Kecantikannya bukan karena fisiknya. Aku merasakan sesuatu yang berbeda ketika melihat Kak Farah. Sepertinya karena pakaian yang dipakainya. Atau entahlah, aku juga tidak begitu mengerti. Dan Kak Elang, Kakakku yang satu lagi yang menurutku jauh lebih aneh. Aku masih ingat bagaimana nakalnya ia saat SMA. Dan semua berubah drastis di tahun keduanya di universitas. Sekarang, ia makin aneh menurutku. Apalagi aku juga kuliah di universitas yang sama dengan dia. Tapi, Bunda justru mendukung. Bunda malah ingin Egy juga bisa seperti Kak Elang. Yang paling seru, kalau Ayah ada di rumah. Pasti Ayah dan Kak Elang akan diskusi panjang tentang politik, mulai dari dalam negeri sampai luar negeri. Mulai dari korupsi Hambalang, sampai Arab Spring. Seperti acara Indonesian Lawyer Club. Jika Ayah masih mengatakan Demokrasi sistem terbaik, beda lagi dengan Kak Elang. Kak Elang justru mengatakan Islamlah sistem terbaik. Islam bukan sekedar agama tetapi juga seperangkat aturan kehidupan yang harus diterapkan dalam bentuk negara. Sayang sekali, Ayah jarang di rumah. Dan adikku, Egy masih duduk di bangku SMA. Dia akan selalu sukses membuatku menjadi monster karena kejahilannya.

***
Malam ini gerah sekali. Aku melihat tempat air minum di atas mejaku. Sudah habis. Dengan langkah malas, aku bangun  dari tempat tidur dan keluar kamar untuk mengambil air. Dari kamar mandi terdengar gemericik air. Dan aku sudah tahu, itu pasti Kak Elang. Kak Elang rajin sekali bangun tengah malam untuk sholat tahajud. Aku sering dibangunkan olehnya, begitu pula dengan adikku.
“Tumben udah bangun. Biasanya susah banget dibangunin,” kata Kak Elang.
“Gerah banget, Kak. Jadinya pengen minum,” jawabku.
“Adek, kapan mau pake jilbab?,” tanya Kak Elang kemudian.
“Eh? Pake jilbab? Maksud Kakak? Adek kan udah pake kalo keluar rumah,” jawabku.
“Itu bukan jilbab, Dek. Itu kerudung. Jilbab itu bajunya, baju terusan atau gamis,” kata Kak Elang.
“Kayak yang dipake Kak Farah itu ya Kak?,” tanyaku.
“Iya. Coba aja buka terjemahan Al Qur’an. Ayat tentang jilbab sama kerudung itu beda lho dek. Kakak gak mau Adek berdosa,” kata Kak Elang.
“Iya, Kak. Adek usahakan. Tapi, gak janji ya bisa secepatnya,” balasku.
Ia terdiam sejenak.
“Egy belum dibangunin ya?,” tanyanya kemudian.
“Belum,” jawabku.
“Ya udah, cepat wudhu sana, biar Kakak yang bangunin dia,” kata Kak Elang. Ia lalu pergi ke kamar Egy.
Aku melihat punggungnya dari jauh. Dari dulu Kak Elang selalu berusaha melindungiku. Senakal-nakalnya dia, hampir tidak pernah dia bersikap kasar padaku. Hanya sekali ia memarahiku. Waktu itu, aku duduk di kelas XII SMA. Di sekolah ada pentas seni dan waktu itu aku pulang malam dan diantarkan oleh teman sekelasku yang laki-laki. Dia tidak pernah semarah itu padaku.
“Adek itu anak perempuan. Ini sudah jam berapa? Kenapa jam segini baru pulang? Dianter cowok lagi. Kakak sudah bilang, jangan ikut acara itu. Di sana itu semua maksiat. Kamu mau ikutan masuk neraka, hah? Kamu pikir pantas anak perempuan berkerudung, pulang malam diantar cowok meskipun hanya teman sekelas? Kakak gak mau lihat kamu ikut acara kayak gitu lagi apapun alasannya!,” Malam itu aku langsung mengunci pintu kamarku dan menangis semalaman.
Besoknya, sebuah kotak diletakkan di depan pintu kamarku. Di dalamnya ada kertas kecil.
Dek, Kakak minta maaf ya. Semalam Kakak bener-bener emosi. Kakak khawatir banget makanya Kakak marah. Ini sebagai permintaan maaf Kakak. Kak Elang
Di dalamnya ada gamis berwarna biru muda. Cantik sekali. Tapi, tidak langsung kupakai. Aku malah menghampirinya dan bertanya.
“Kak, ini maksudnya apa?,” tanyaku padanya.
“Itu buat Adek. Itu jilbab. Seorang Muslimah seharusnya menutup auratnya dengan jilbab dan kerudung. Pasti
Adek tambah cantik deh,” jawabnya sambil tersenyum.
“Adek gak butuh, Kak,” kataku.
“Simpan aja, Dek. Siapa tahu suatu saat bakal dipakai,” balasnya.
Akhirnya, gamis itu kusimpan. Sampai saat ini masih ada di lemariku. Dan aku tidak pernah berniat untuk menyentuhnya. Sekarang sikap Kak Elang semakin lembut dan berwibawa. Ia juga semakin sabar apalagi menghadapi tingkah Egy yang bandel. Kegiatannya di luar tidak pernah menjadi alasan untuk tidak memerhatikan kami di rumah. Bunda sangat mengandalkan Kak Elang. Ayah pun begitu. Apalagi sekarang Kak Ezy sudah tidak tinggal di rumah. Kak Ezy biasanya hanya mampir. Aku pun belum terlalu dekat dengan Kak Farah karena jarang bertemu. Meskipun Kak Farah cukup sering ke rumah, karena aku yang jarang ada di rumah, akhirnya kami jarang bertemu.
“Dek, ngapain masih di sini? Udah wudhu belum? Kok malah ngelamun?,” pertanyaan Kak Elang membuyarkan lamunanku.
“Eh, iya Kak,” aku buru-buru ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu ikut sholat bersama Kak Elang, Egy dan Bunda.
***
Handphoneku bergetar. Ada SMS masuk. Nomornya tidak kukenal.
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Apa bener ini nomernya dek Cantik?
Lalu aku membalasnya.
Wa’alaikumsalam. Iya, saya Cantik. Maaf, ini dengan siapa?
Beberapa saat kemudian, ada balasan lagi.
Saya Vania, dek. Teman SMAnya Elang. Saya dapat nomor Cantik dari Elang. Kebetulan saya juga jurusan Komunikasi. Salam kenal :) 
Aku sedikit kaget.
“Hah? Temannya Kak Elang? Tumben ada yang SMS. Teman SMA pula. Bukannya sekarang Kak Elang udah tobat jadi playboy? Kok masih ada cewek yang pedekate? Lewat gue lagi,” batinku.
Kemudian kubalas.
Salam kenal juga, Kak :) 

Ia lalu membalas lagi.
Kapan-kapan ketemuan di kampus yuk, Dek. Mungkin bisa ngobrol-ngobrol lebih jauh biar lebih akrab :)
Dengan ragu-ragu aku membalas.
Iya, insya Allah Kak, kalo Cantik lagi gak sibuk.
Orang yang bernama Vania itu kemudian membalas lagi.
Iya dek. Kapan aja Cantik bisa. Kakak ngikut aja :) 
Akhirnya, muncul lagi satu orang yang membuatku sedikit shock. Dia begitu ramah. Padahal, ketemu juga belum. Apa dia serius suka sama Kak Elang? Ah, orang ini benar-benar membuatku penasaran. Malamnya aku bertanya pada Kak Elang.
“Kak, kak Vania itu siapa? Mantan Kakak ya?,” tanyaku pada Kak Elang yang sedang membaca buku di ruang keluarga.
“Hah? Apa dek? Maaf, tadi Kakak lagi serius bacanya jadi gak denger,” tanya Kak Elang.
“Iih, Kakak nih. Tadi Adek nanya, kak Vania itu siapa? Mantan Kakak ya?,” aku mengulang pertanyaanku.
“Bukan, Dek. Kenapa Adek ngiranya gitu? Ah, Kakak kayaknya belum bilang ke Adek soal Vania,” kata Kak Elang.
“Emang ada apa dengan kak Vania? Jangan bilang Kakak mau nikah sama kakak itu,” kataku agak menuduh.
“Eh, denger dulu napa? Gini Dek, dulu sebelum Adek masuk universitas, Kakak pernah nyaranin Adek untuk ngaji kan? Nah, Vania itu teman SMA Kakak yang kebetulan anak Rohis di fakultas Adek. Waktu Adek keterima di jurusan komunikasi, Kakak ngasih nomor hp Adek ke Vania. Kebetulan jurusannya sama dengan Adek. Dan Kakak lupa bilang ke Adek. Baru dihubungi Vania ya?,” kata Kak Elang.
“Oooo, gitu. Iya, Kak. Tadi siang kak Vania SMS,” kataku.
“Udah janjian ketemuan?”
“Belum. Adek belum ngasih kepastian kapan. Tapi, Kakaknya bilang kapan aja Adek bisa hubungin beliau aja, gitu katanya”.
“Alhamdulillah deh kalo gitu”.
“Kak, kenapa sih Kakak ngebet banget biar Adek ngaji dan ikutan Rohis? Biar Adek kayak kak Farah ya? Anak-anaknya lho gitu semua. Lagian, Adek gak mau jadi yang aneh-aneh. Ntar kalo gabung di Rohis disuruh macam-macam, banyak larangannya pula,” kataku protes.
“Aneh-aneh maksudnya gimana, Dek?,” tanya Kak Elang.
“Ya, gitu Kak. Terlalu ekstrim. Dikit-dikit gak boleh. Kayaknya semuanya gak boleh. Lebay banget tau, Kak”.
“Adek mau tau kenapa Kakak pengen Adek ngaji dan ikutan Rohis?,” tanya Kak Elang.
“Kenapa?”
“Karena Kakak sayang sama Adek. Dan Kakak gak mau Adek perempuan Kakak satu-satunya masuk neraka karena gak taat sama Allah. Kakak gak ngelarang Adek ikutan Lembaga Pers. Kalo emang Adek senang jurnalistik gak apa-apa. Tapi, jangan lupa Dek, hidup kita gak cuma di dunia aja. Setelah dunia ini kita akan mati dan kita gak tau kapan kita mati. Singkatnya, kita bisa mati kapan saja. Setelah itu, kita akan dibangkitkan lagi untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kita di dunia kemudian kita bakalan menuju tempat abadi, yakni di akhirat. Tapi, ingat, akhirat itu ada dua, surga dan neraka. Tinggal milih mau masuk mana. Adek mau masuk surga kan?”
“Iya, pastilah Kak. Siapa orang yang gak mau masuk surga?”
“Tapi, surga itu bukan untuk sembarang orang, Dek. Surga itu hanya untuk orang-orang spesial. Orang-orang yang bener-bener mau masuk surga pasti bakalan milih jalan yang akan mengantarkan dia menuju surga, bukan sebaliknya. Dan hanya Islam saja yang akan mengantarkan kita menuju surga. Islam punya aturan. Nah, kalo kita gak tau Islam itu seperti apa, gimana caranya kita mau masuk surga? Makanya, harus belajar Islam dari A-Z. Karena Islam itu gak hanya sekedar sholat, puasa, zakat, haji. Islam itu ideologi, Dek. Islam itu jalan hidup. Aturan Islam gak hanya ibadah ritual aja, tapi juga sampai masalah politik dan bernegara,” jelas Kak Elang.
Aku hanya diam. Aku tidak bisa membalas argumen Kak Elang karena aku memang sudah tidak punya alasan lagi. Selama ini aku menghindar setiap kali Kak Elang menyuruhku untuk mengkaji Islam. Aku selalu saja punya banyak alasan untuk mengatakan bahwa aku tidak bisa. Aku lebih senang dengan kegiatan di lembaga pers fakultasku yang menurutku lebih bebas dan fun. Tidak ada aturan mengikat seperti Rohis. Tapi, benar juga kata Kak Elang. Hidup ini singkat. Manusia sama sekali tidak akan tahu kapan mereka akan kembali kepada Zat Yang Menciptakan mereka. Manusia bisa mati kapan saja. Beruntung jika matinya khusnul khatimah, tapi jika sebaliknya?
Aku lalu berpikir ulang. Mungkin saran Kak Elang tidak terlalu buruk. Setidaknya aku sudah mencoba. Daripada tidak sama sekali. Toh cuma ikutan pengajian. Dan itu pun gak setiap hari. Hitung-hitung mengumpulkan amal kebaikan untuk persiapan di akhirat kelak.
***
Sore itu seisi rumah tampak heran dengan penampilanku. Ya, memang aku berpenampilan tidak biasa. Biasanya aku memakai jeans. Hari ini aku memakai rok dan blues. Pemandangan yang luar biasa.
“Wah, anak Bunda cantik banget. Mau kemana?,” tanya Bunda.
“Kak Cantik mau ngedate ya?,” timpal Egy.
“Kencan? Sembarangan aja!,” hardikku.
“Trus, Adek mau kemana?,” tanya Kak Elang kemudian.
“Mau ke kampus, Kak. Ada kajian,” jawabku sambil tersenyum.
“Oh, gitu. Mau Kakak anter?,” tanya Kak Elang.
“Adek dijemput kok, Kak”
“Siapa yang jemput? Cewek kan?”
“Ya kali cowok, Kak. Orang kajiannya buat cewek-cewek doang kok. Adek dijemput kak Vania. Bentar lagi orangnya nyampe”
“Oh, ya udah. Hati-hati, Dek” kata Kak Elang. Hari itu sepertinya Kak Elang yang terlihat paling bahagia.
Aku lalu bergegas keluar. Di depan pagar sudah ada kak Vania yang menungguku. Ia naik motor matic dan ternyata pakaiannya seperti yang dikasih Kak Elang ke aku alias gamis.
“Dek Cantik ya?”, tanyanya ramah.
“Iya, Kak”, jawabku sambil tersenyum.
“Vania”, ia lalu mengulurkan tangannya kepadaku. Aku pun membalas uluran tangannya.
Kami lalu berangkat menuju kampus. Ternyata di sana tidak hanya kami berdua tetapi ada beberapa peserta lain dan rata-rata semua pakai gamis. Aku merasa canggung sendiri. Kemudian beberapa orang datang menyambut dan menyalamiku.  Mereka semua teman-teman pengajian kak Vania.
“Namanya siapa, Dek?”, tanya salah seorang teman kak Vania.
“Cantik, Kak”, jawabku singkat.
“Wah, namanya bagus. Cocok banget sama tema kajian hari ini”, jawabnya.
“Emang temanya apa, Kak?”, tanyaku.
“Cantik; Antara Mitos dan Realita”, jawabnya. Aku pun langsung tersenyum.
Kajian hari ini benar-benar berbeda dengan kajian yang biasanya. Jika biasanya orang-orang hanya menggambarkan Islam sebagai agama spiritual, di kajian ini Islam benar-benar ditunjukkan dengan gambaran yang berbeda. Kak Elang benar, Islam bukan hanya sekedar agama tetapi juga jalan hidup. Makanya, Islam tidak hanya mengatur tentang ibadah ritual, tetapi juga bermasyarakat dan bernegara. Realita perempuan saat ini dimana mereka semua ingin tampil cantik sesuai trend bahkan muslimah sendiri pun seperti itu karena ternyata ada sebuah sistem lain yang kemudian meracuni pikiran mereka saat ini. Dan karena sistem itulah perempuan berlomba untuk cantik tetapi lupa akan kewajiban mereka sebagai wanita. Hingga akhirnya dibuatlah kontes-kontes kecantikan seperti Miss World ataupun Miss Universe padahal sejatinya kontes-kontes kecantikan itu hanyalah alat untuk menghinakan perempuan. Sungguh berbeda dengan Islam. Sayangnya, hari ini Islam tidak diterapkan dalam bentuk Negara sehingga para muslimah seringkali ternodai kehormatannya. Akhirnya, terjawab sudah keraguanku selama ini. Dan mulai minggu depan, aku akan mulai mengkaji Islam lebih intensif bersama kak Vania.
***
Aku mengetuk pintu kamar Kak Elang.
“Siapa?”, tanya Kak Elang.
“Cantik”
“Masuk”, kata Kak Elang dari dalam.
“Lagi sibuk, Kak?”
“Ada apa, Dek?”
“Gak, Kak. Adek Cuma mau bilang makasih ke Kakak”
“Makasih? Dalam rangka?”
“Karena Kakak udah sayang banget sama Adek. Dan makasih juga karena hari ini Adek akhirnya mengerti tentang makna nama Adek”
“Serius, Dek?”, Kak Elang tersenyum.
“Emang Adek ada tampang becanda? Ah, Kakak nih”
“Yah gitu aja ngambek. Iya, sama-sama, Dek”
“Adek gak akan protes lagi sama Bunda. Dan Adek juga gak akan ngeliatin artis-artis yang katanya cantik tapi Cuma fisik doang. Karena Allah gak pernah melihat fisik tapi melihat ketakwaan”
“Wah, udah pinter nih adeknya Kak Elang”
“Iya, dong. Kan Adek udah ngaji”
“Sip. Sekarang tantangannya adalah bagaimana menjaga keistiqomahan. Kakak tunggu perubahannya”
“Siap, Kak!,” kataku sambil meniru gaya orang hormat bendera.
***
“Kaaaakk!” teriakku dari tangga. Aku bergegas cepat-cepat menuruni tangga dengan kaos kaki yang masih kutenteng bersama tasku.
Hari ini ada Long March Tolak Miss World 2013. Kemarin kak Vania memberitahu acara ini padaku. Malamnya ingin kuberitahukan pada Kak Elang, tapi karena Kak Elang pulang larut malam, akhirnya aku tidak sempat memberitahunya.
“Kenapa, Dek?”
“Kakak mau ikut Long March Tolak Miss World kan?”
“Iya, kok tau dek?”
“Adek ikut”
“Gak dijemput Vania lagi?”
“Ehem, nyariin?”
“Gak gitu. Adek Jealous ya?”
“Idieh, siapaaa juga? Kemarin tuh diajakin bareng sama kak Vania tapi Adek bilang kalo Adek bareng Kakak aja. Tapi, Kakak sih. Semalam pulangnya lama banget. Adek tungguin sampe ketiduran, tau”
“Nungguin Kakak? Tumben”
“Iya, mau bilang biar bareng gitu ke acaranya”
“Kakak gak tau. Kenapa gak SMS atau telfon?”
“Emang Kakak bales? Kakak tuh susah kalo disuruh bales SMS”
Kak Elang tersenyum sambil mengelus kepalaku.
“Akhirnya jilbabnya dipake juga”
“Doain semoga istqomah. Insya Allah mau dipake terus”
“Sip. Barang-barangnya udah semua nih?”
“Iya, tinggal kaos kaki”
“Ya udah, Kakak tunggu di depan ya”
“Oke, Kak”
Akhirnya aku pun berangkat bersama Kak Elang. Aku berpikir andai saja Bunda dan kak Farah juga ikut. Tapi, lain kali akan ku ajak kak Farah dan Bunda. Agar semua bisa paham Islam dan menjadikan Islam sebagai solusi dalam kehidupan. Terima kasih ya Allah, telah Engkau bukakan hati ini untuk menjemput hidayahMu. Terima kasih untuk Ayah dan Bunda yang sudah memberiku nama yang indah. Terima kasih Kak Elang yang selalu sabar menghadapiku dan terima kasih Kak Vania yang mau mengajariku bagaimana menjadi seorang Muslimah kaffah.
-SELESAI-
Malang, 23 Oktober 2013. 17:03 WIB.

Ini adalah cerpen yang saya buat pas saya lagi mood bikin cerpen. Setelah sekian lama saya tidak nulis fiksi dan berkecimpung di dunia mengarang bebas*huehe* dan kebetulan waktu itu lagi heboh-hebohnya Penolakan terhadap ajang Miss World :D
Cerita ini asli fiksi. Special for Amirah Puspadewi yang udah pernah sy kasih draftnya dan Nurintan Sri Utami yang pernah saya janjiin baca cerpen buatan saya :D