-Cantik adalah nama yang Ayah dan Bunda
berikan sebagai rasa syukur karena bisa memiliki anak perempuan. Cantik itu
adalah harapan semoga bukan hanya kecantikan yang ada di fisik saja, tetapi
juga kecantikan dalam kepribadian-
-Cantik bukan karena semua orang bisa melihat
keelokan tubuhmu. Cantik bukan dilihat dari tinggi yang semampai, kaki yang
indah, tubuh yang langsing, kulit yang putih dan mulus atau wajah yang
memesona. Cantik itu karena ketaatan. Ketaatan yang lahir dari keimanan-
***
Namaku Cantik. Sampai saat ini
aku masih tidak mengerti mengapa Bunda memberiku nama itu. Setiap kali kutanya,
jawabannya hanya, “Masa Kakak sama Adek yang dinamain kayak gitu? Kan gak
lucu”. Menurutku, nama itu sangat tidak sesuai dengan diriku. Sampai saat ini
pun aku masih beranggapan seperti itu.
Aku memandangi diriku di cermin.
Mencari alasan untuk membenarkan pendapat Bunda. Aku lalu membayangkan
teman-teman sekelasku di kampus. Mereka lebih pantas dengan nama itu, masih
menurutku. Mungkin lebih tepatnya aku masih tidak percaya diri dengan nama yang
kusandang itu. Aku juga membayangkan majalah Korea milik mereka yang hampir
setiap edisi menampilkan girlband yang cantiknya terlalu sempurna untuk ukuran
manusia. Sebut saja SNSD, After School, T-Ara, Fx, Miss A dan masih banyak lagi
yang tidak bisa kusebutkan saking banyaknya. Dan sekarang yang sedang disukai
oleh kaum adam termasuk adik bungsuku adalah JKT48. Fiewh, sepertinya negara
ini sukses mengeksploitasi tubuh-tubuh cantik wanita.
Aku memutar badanku. Lalu
bergumam.
“Cantik darimananya sih? Muka
biasa aja. Tinggi cuma segini, langsing gak. Putih mulus juga gak segitunya.
Biasa aja. Apanya yang cantik coba?”
***
Aku dikagetkan oleh suara pintu
kamarku yang dibuka dengan cukup keras. Masih dengan keadaan mematung di depan
cermin.
“Egyyyyyyy!!! Bisa gak sih ketuk
pintu dulu?,” kataku kesal. Adikku yang satu ini sangat suka seenaknya
sendiri.
“Hehe, sorry Kak. Egy ulang lagi
ya?,” dia lalu keluar dan menutup pintu lalu mengetuknya.
“Udah telat. Ada apa? Mau minta
apa lagi?,” kataku padanya.
“Idiieeh, jutek banget sih Kakak
ini. Udah bagus namanya Cantik, tapi jutek. Ntar susah jodoh lho. Contoh tuh
Kak Farah. Udah cantik, baik, sholehah pula. Pantes aja Kak Ezy jatuh cinta. Lha,
Kak Cantik juteknya minta ampun,” katanya dengan ekspresinya yang menurutku
sangat menyebalkan. Kalau saja dia bukan adikku, sudah kutendang dia dari
rumah.
“Berisik. Cepat, ngomong. Mau
ngapain? Kakak lagi sibuk, kalau mau minta bantuin ngerjain PR, minta bantu
sama Kak Elang aja,” balasku ketus.
Wajahnya langsung berubah.
“Ah, Kakak gak asik! Kak Elang
lagi keluar. Kan Egy gak mungkin minta tolong sama Kak Ezy,” kata Egy.
“Manja banget sih kamu. Anak
cowok itu gak boleh manja. Besok-besok PRnya dikerjain sendiri. Kalo udah
bener-bener gak bisa baru minta tolong,” kataku lagi.
“Oke deh Kakak. Kalo gitu, Kakak
jadi cantik kayak Princess,” kata Egy.
“Tapi gak mungkin bisa ngalahin
JKT48 kan?,” sindirku.
“Hehe, tau aja,” Egy tersenyum
malu.
“Huuu, dasar!,” aku lalu
melemparnya dengan bantal.
“Oya, Kakak tadi ngapain ngelamun
di depan cermin? Mau tanyain siapa cewek tercantik di jagad raya?,” Egy mulai
lagi.
“Heh, mau dibantuin gak PRnya?
Kalau mau dibantuin jangan berisik!,” ancamku padanya sambil menyembunyikan
rasa malu karena ketahuan adikku yang satu itu.
***
Rumahku bisa dibilang cukup
ramai. Semua saudaraku laki-laki. Kakakku yang pertama baru saja menikah. Dan
Kakakku yang kedua berada dua tahun di atasku. Menurutku, dua Kakakku itu aneh.
Kak Ezy, Kakakku yang pertama menikah dengan cara yang menurutku sangat tidak
masuk akal. Orang-orang kebanyakan pasti punya pacar sebelum menikah. Tapi, Kak
Ezy tidak melakukan itu. Katanya, “Ngapain pacaran kalo gak serius ke arah
pernikahan?” Dan benar, sekali ketemu sama Kak Farah, istrinya, langsung
dilamar dan menikah. Waktu itu Ayah dan Bunda sedikit shock dengan keputusan
Kak Ezy. Menurut mereka, Kak Ezy terlalu terburu-buru. Tapi, bukan Kak
Ezy kalau tidak bisa bernegosiasi. Ditambah lagi ada Kak Elang. Aku dan Egy
hanya bisa menjadi penonton terbaik saat ada debat terbuka di rumah. Dan
akhirnya sekarang semua baik-baik saja. Kak Ezy berhasil membuktikan kalau dia
tidak salah memilih pendamping hidup. Kak Farah begitu cantik, anggun dan
penyayang. Kecantikannya bukan karena fisiknya. Aku merasakan sesuatu yang
berbeda ketika melihat Kak Farah. Sepertinya karena pakaian yang dipakainya.
Atau entahlah, aku juga tidak begitu mengerti. Dan Kak Elang, Kakakku yang satu
lagi yang menurutku jauh lebih aneh. Aku masih ingat bagaimana nakalnya ia saat
SMA. Dan semua berubah drastis di tahun keduanya di universitas. Sekarang, ia
makin aneh menurutku. Apalagi aku juga kuliah di universitas yang sama dengan
dia. Tapi, Bunda justru mendukung. Bunda malah ingin Egy juga bisa seperti Kak
Elang. Yang paling seru, kalau Ayah ada di rumah. Pasti Ayah dan Kak Elang akan
diskusi panjang tentang politik, mulai dari dalam negeri sampai luar negeri.
Mulai dari korupsi Hambalang, sampai Arab Spring. Seperti acara Indonesian
Lawyer Club. Jika Ayah masih mengatakan Demokrasi sistem terbaik, beda lagi
dengan Kak Elang. Kak Elang justru mengatakan Islamlah sistem terbaik. Islam
bukan sekedar agama tetapi juga seperangkat aturan kehidupan yang harus
diterapkan dalam bentuk negara. Sayang sekali, Ayah jarang di rumah. Dan
adikku, Egy masih duduk di bangku SMA. Dia akan selalu sukses membuatku menjadi
monster karena kejahilannya.
***
Malam ini gerah sekali. Aku
melihat tempat air minum di atas mejaku. Sudah habis. Dengan langkah malas, aku
bangun dari tempat tidur dan keluar kamar untuk mengambil air. Dari kamar
mandi terdengar gemericik air. Dan aku sudah tahu, itu pasti Kak Elang. Kak
Elang rajin sekali bangun tengah malam untuk sholat tahajud. Aku sering
dibangunkan olehnya, begitu pula dengan adikku.
“Tumben udah bangun. Biasanya
susah banget dibangunin,” kata Kak Elang.
“Gerah banget, Kak. Jadinya
pengen minum,” jawabku.
“Adek, kapan mau pake jilbab?,”
tanya Kak Elang kemudian.
“Eh? Pake jilbab? Maksud Kakak?
Adek kan udah pake kalo keluar rumah,” jawabku.
“Itu bukan jilbab, Dek. Itu
kerudung. Jilbab itu bajunya, baju terusan atau gamis,” kata Kak Elang.
“Kayak yang dipake Kak Farah itu
ya Kak?,” tanyaku.
“Iya. Coba aja buka terjemahan Al
Qur’an. Ayat tentang jilbab sama kerudung itu beda lho dek. Kakak gak mau Adek
berdosa,” kata Kak Elang.
“Iya, Kak. Adek usahakan. Tapi,
gak janji ya bisa secepatnya,” balasku.
Ia terdiam sejenak.
“Egy belum dibangunin ya?,”
tanyanya kemudian.
“Belum,” jawabku.
“Ya udah, cepat wudhu sana, biar
Kakak yang bangunin dia,” kata Kak Elang. Ia lalu pergi ke kamar Egy.
Aku melihat punggungnya dari
jauh. Dari dulu Kak Elang selalu berusaha melindungiku. Senakal-nakalnya dia,
hampir tidak pernah dia bersikap kasar padaku. Hanya sekali ia memarahiku.
Waktu itu, aku duduk di kelas XII SMA. Di sekolah ada pentas seni dan waktu itu
aku pulang malam dan diantarkan oleh teman sekelasku yang laki-laki. Dia tidak
pernah semarah itu padaku.
“Adek itu anak perempuan. Ini
sudah jam berapa? Kenapa jam segini baru pulang? Dianter cowok lagi. Kakak
sudah bilang, jangan ikut acara itu. Di sana itu semua maksiat. Kamu mau ikutan
masuk neraka, hah? Kamu pikir pantas anak perempuan berkerudung, pulang malam
diantar cowok meskipun hanya teman sekelas? Kakak gak mau lihat kamu ikut acara
kayak gitu lagi apapun alasannya!,” Malam itu aku langsung mengunci pintu
kamarku dan menangis semalaman.
Besoknya, sebuah kotak diletakkan
di depan pintu kamarku. Di dalamnya ada kertas kecil.
Dek, Kakak minta maaf ya. Semalam Kakak
bener-bener emosi. Kakak khawatir banget makanya Kakak marah. Ini sebagai
permintaan maaf Kakak. Kak Elang
Di dalamnya ada gamis berwarna
biru muda. Cantik sekali. Tapi, tidak langsung kupakai. Aku malah
menghampirinya dan bertanya.
“Kak, ini maksudnya apa?,”
tanyaku padanya.
“Itu buat Adek. Itu jilbab.
Seorang Muslimah seharusnya menutup auratnya dengan jilbab dan kerudung. Pasti
Adek tambah cantik deh,” jawabnya
sambil tersenyum.
“Adek gak butuh, Kak,” kataku.
“Simpan aja, Dek. Siapa tahu
suatu saat bakal dipakai,” balasnya.
Akhirnya, gamis itu kusimpan.
Sampai saat ini masih ada di lemariku. Dan aku tidak pernah berniat untuk
menyentuhnya. Sekarang sikap Kak Elang semakin lembut dan berwibawa. Ia juga
semakin sabar apalagi menghadapi tingkah Egy yang bandel. Kegiatannya di luar
tidak pernah menjadi alasan untuk tidak memerhatikan kami di rumah. Bunda
sangat mengandalkan Kak Elang. Ayah pun begitu. Apalagi sekarang Kak Ezy sudah
tidak tinggal di rumah. Kak Ezy biasanya hanya mampir. Aku pun belum terlalu
dekat dengan Kak Farah karena jarang bertemu. Meskipun Kak Farah cukup sering
ke rumah, karena aku yang jarang ada di rumah, akhirnya kami jarang bertemu.
“Dek, ngapain masih di sini? Udah
wudhu belum? Kok malah ngelamun?,” pertanyaan Kak Elang membuyarkan lamunanku.
“Eh, iya Kak,” aku buru-buru ke
kamar mandi untuk mengambil air wudhu ikut sholat bersama Kak Elang, Egy dan
Bunda.
***
Handphoneku bergetar. Ada SMS
masuk. Nomornya tidak kukenal.
Assalamu’alaikum
Wr. Wb. Apa bener ini nomernya dek Cantik?
Lalu aku membalasnya.
Wa’alaikumsalam.
Iya, saya Cantik. Maaf, ini dengan siapa?
Beberapa saat kemudian, ada
balasan lagi.
Saya
Vania, dek. Teman SMAnya Elang. Saya dapat nomor Cantik dari Elang. Kebetulan
saya juga jurusan Komunikasi. Salam kenal :)
Aku sedikit kaget.
“Hah? Temannya Kak Elang? Tumben
ada yang SMS. Teman SMA pula. Bukannya sekarang Kak Elang udah tobat jadi
playboy? Kok masih ada cewek yang pedekate? Lewat gue lagi,” batinku.
Kemudian kubalas.
Salam
kenal juga, Kak :)
Ia lalu membalas lagi.
Kapan-kapan
ketemuan di kampus yuk, Dek. Mungkin bisa ngobrol-ngobrol lebih jauh biar lebih
akrab :)
Dengan ragu-ragu aku membalas.
Iya,
insya Allah Kak, kalo Cantik lagi gak sibuk.
Orang yang bernama Vania itu
kemudian membalas lagi.
Iya dek.
Kapan aja Cantik bisa. Kakak ngikut aja :)
Akhirnya, muncul lagi satu orang
yang membuatku sedikit shock. Dia begitu ramah. Padahal, ketemu juga belum. Apa
dia serius suka sama Kak Elang? Ah, orang ini benar-benar membuatku penasaran.
Malamnya aku bertanya pada Kak Elang.
“Kak, kak Vania itu siapa? Mantan
Kakak ya?,” tanyaku pada Kak Elang yang sedang membaca buku di ruang keluarga.
“Hah? Apa dek? Maaf, tadi Kakak
lagi serius bacanya jadi gak denger,” tanya Kak Elang.
“Iih, Kakak nih. Tadi Adek nanya,
kak Vania itu siapa? Mantan Kakak ya?,” aku mengulang pertanyaanku.
“Bukan, Dek. Kenapa Adek ngiranya
gitu? Ah, Kakak kayaknya belum bilang ke Adek soal Vania,” kata Kak Elang.
“Emang ada apa dengan kak Vania?
Jangan bilang Kakak mau nikah sama kakak itu,” kataku agak menuduh.
“Eh, denger dulu napa? Gini Dek,
dulu sebelum Adek masuk universitas, Kakak pernah nyaranin Adek untuk ngaji
kan? Nah, Vania itu teman SMA Kakak yang kebetulan anak Rohis di fakultas Adek.
Waktu Adek keterima di jurusan komunikasi, Kakak ngasih nomor hp Adek ke Vania.
Kebetulan jurusannya sama dengan Adek. Dan Kakak lupa bilang ke Adek. Baru
dihubungi Vania ya?,” kata Kak Elang.
“Oooo, gitu. Iya, Kak. Tadi siang
kak Vania SMS,” kataku.
“Udah janjian ketemuan?”
“Belum. Adek belum ngasih
kepastian kapan. Tapi, Kakaknya bilang kapan aja Adek bisa hubungin beliau aja,
gitu katanya”.
“Alhamdulillah deh kalo gitu”.
“Kak, kenapa sih Kakak ngebet
banget biar Adek ngaji dan ikutan Rohis? Biar Adek kayak kak Farah ya?
Anak-anaknya lho gitu semua. Lagian, Adek gak mau jadi yang aneh-aneh. Ntar
kalo gabung di Rohis disuruh macam-macam, banyak larangannya pula,” kataku
protes.
“Aneh-aneh maksudnya gimana,
Dek?,” tanya Kak Elang.
“Ya, gitu Kak. Terlalu ekstrim.
Dikit-dikit gak boleh. Kayaknya semuanya gak boleh. Lebay banget tau, Kak”.
“Adek mau tau kenapa Kakak pengen
Adek ngaji dan ikutan Rohis?,” tanya Kak Elang.
“Kenapa?”
“Karena Kakak sayang sama Adek.
Dan Kakak gak mau Adek perempuan Kakak satu-satunya masuk neraka karena gak
taat sama Allah. Kakak gak ngelarang Adek ikutan Lembaga Pers. Kalo emang Adek
senang jurnalistik gak apa-apa. Tapi, jangan lupa Dek, hidup kita gak cuma di
dunia aja. Setelah dunia ini kita akan mati dan kita gak tau kapan kita mati. Singkatnya,
kita bisa mati kapan saja. Setelah itu, kita akan dibangkitkan lagi untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan kita di dunia kemudian kita bakalan menuju
tempat abadi, yakni di akhirat. Tapi, ingat, akhirat itu ada dua, surga dan
neraka. Tinggal milih mau masuk mana. Adek mau masuk surga kan?”
“Iya, pastilah Kak. Siapa orang
yang gak mau masuk surga?”
“Tapi, surga itu bukan untuk
sembarang orang, Dek. Surga itu hanya untuk orang-orang spesial. Orang-orang
yang bener-bener mau masuk surga pasti bakalan milih jalan yang akan
mengantarkan dia menuju surga, bukan sebaliknya. Dan hanya Islam saja yang akan
mengantarkan kita menuju surga. Islam punya aturan. Nah, kalo kita gak tau
Islam itu seperti apa, gimana caranya kita mau masuk surga? Makanya, harus
belajar Islam dari A-Z. Karena Islam itu gak hanya sekedar sholat, puasa,
zakat, haji. Islam itu ideologi, Dek. Islam itu jalan hidup. Aturan Islam gak
hanya ibadah ritual aja, tapi juga sampai masalah politik dan bernegara,” jelas
Kak Elang.
Aku hanya diam. Aku tidak bisa
membalas argumen Kak Elang karena aku memang sudah tidak punya alasan lagi.
Selama ini aku menghindar setiap kali Kak Elang menyuruhku untuk mengkaji
Islam. Aku selalu saja punya banyak alasan untuk mengatakan bahwa aku tidak
bisa. Aku lebih senang dengan kegiatan di lembaga pers fakultasku yang
menurutku lebih bebas dan fun. Tidak ada aturan mengikat seperti Rohis. Tapi,
benar juga kata Kak Elang. Hidup ini singkat. Manusia sama sekali tidak akan
tahu kapan mereka akan kembali kepada Zat Yang Menciptakan mereka. Manusia bisa
mati kapan saja. Beruntung jika matinya khusnul khatimah, tapi jika sebaliknya?
Aku lalu berpikir ulang. Mungkin
saran Kak Elang tidak terlalu buruk. Setidaknya aku sudah mencoba. Daripada
tidak sama sekali. Toh cuma ikutan pengajian. Dan itu pun gak setiap hari.
Hitung-hitung mengumpulkan amal kebaikan untuk persiapan di akhirat kelak.
***
Sore itu seisi rumah tampak heran
dengan penampilanku. Ya, memang aku berpenampilan tidak biasa. Biasanya aku
memakai jeans. Hari ini aku memakai rok dan blues. Pemandangan yang luar biasa.
“Wah, anak Bunda cantik banget.
Mau kemana?,” tanya Bunda.
“Kak Cantik mau ngedate ya?,”
timpal Egy.
“Kencan? Sembarangan aja!,”
hardikku.
“Trus, Adek mau kemana?,” tanya
Kak Elang kemudian.
“Mau ke kampus, Kak. Ada kajian,”
jawabku sambil tersenyum.
“Oh, gitu. Mau Kakak anter?,”
tanya Kak Elang.
“Adek dijemput kok, Kak”
“Siapa yang jemput? Cewek kan?”
“Ya kali cowok, Kak. Orang
kajiannya buat cewek-cewek doang kok. Adek dijemput kak Vania. Bentar lagi
orangnya nyampe”
“Oh, ya udah. Hati-hati, Dek”
kata Kak Elang. Hari itu sepertinya Kak Elang yang terlihat paling bahagia.
Aku lalu bergegas keluar. Di
depan pagar sudah ada kak Vania yang menungguku. Ia naik motor matic dan
ternyata pakaiannya seperti yang dikasih Kak Elang ke aku alias gamis.
“Dek Cantik ya?”, tanyanya ramah.
“Iya, Kak”, jawabku sambil
tersenyum.
“Vania”, ia lalu mengulurkan
tangannya kepadaku. Aku pun membalas uluran tangannya.
Kami lalu berangkat menuju
kampus. Ternyata di sana tidak hanya kami berdua tetapi ada beberapa peserta
lain dan rata-rata semua pakai gamis. Aku merasa canggung sendiri. Kemudian
beberapa orang datang menyambut dan menyalamiku. Mereka semua teman-teman
pengajian kak Vania.
“Namanya siapa, Dek?”, tanya
salah seorang teman kak Vania.
“Cantik, Kak”, jawabku singkat.
“Wah, namanya bagus. Cocok banget
sama tema kajian hari ini”, jawabnya.
“Emang temanya apa, Kak?”,
tanyaku.
“Cantik; Antara Mitos dan
Realita”, jawabnya. Aku pun langsung tersenyum.
Kajian hari ini benar-benar
berbeda dengan kajian yang biasanya. Jika biasanya orang-orang hanya
menggambarkan Islam sebagai agama spiritual, di kajian ini Islam benar-benar
ditunjukkan dengan gambaran yang berbeda. Kak Elang benar, Islam bukan hanya
sekedar agama tetapi juga jalan hidup. Makanya, Islam tidak hanya mengatur
tentang ibadah ritual, tetapi juga bermasyarakat dan bernegara. Realita
perempuan saat ini dimana mereka semua ingin tampil cantik sesuai trend bahkan
muslimah sendiri pun seperti itu karena ternyata ada sebuah sistem lain yang
kemudian meracuni pikiran mereka saat ini. Dan karena sistem itulah perempuan
berlomba untuk cantik tetapi lupa akan kewajiban mereka sebagai wanita. Hingga
akhirnya dibuatlah kontes-kontes kecantikan seperti Miss World ataupun Miss
Universe padahal sejatinya kontes-kontes kecantikan itu hanyalah alat untuk
menghinakan perempuan. Sungguh berbeda dengan Islam. Sayangnya, hari ini Islam
tidak diterapkan dalam bentuk Negara sehingga para muslimah seringkali ternodai
kehormatannya. Akhirnya, terjawab sudah keraguanku selama ini. Dan mulai minggu
depan, aku akan mulai mengkaji Islam lebih intensif bersama kak Vania.
***
Aku mengetuk pintu kamar Kak
Elang.
“Siapa?”, tanya Kak Elang.
“Cantik”
“Masuk”, kata Kak Elang dari
dalam.
“Lagi sibuk, Kak?”
“Ada apa, Dek?”
“Gak, Kak. Adek Cuma mau bilang
makasih ke Kakak”
“Makasih? Dalam rangka?”
“Karena Kakak udah sayang banget
sama Adek. Dan makasih juga karena hari ini Adek akhirnya mengerti tentang
makna nama Adek”
“Serius, Dek?”, Kak Elang
tersenyum.
“Emang Adek ada tampang becanda?
Ah, Kakak nih”
“Yah gitu aja ngambek. Iya,
sama-sama, Dek”
“Adek gak akan protes lagi sama
Bunda. Dan Adek juga gak akan ngeliatin artis-artis yang katanya cantik tapi
Cuma fisik doang. Karena Allah gak pernah melihat fisik tapi melihat ketakwaan”
“Wah, udah pinter nih adeknya Kak
Elang”
“Iya, dong. Kan Adek udah ngaji”
“Sip. Sekarang tantangannya
adalah bagaimana menjaga keistiqomahan. Kakak tunggu perubahannya”
“Siap, Kak!,” kataku sambil
meniru gaya orang hormat bendera.
***
“Kaaaakk!” teriakku dari tangga.
Aku bergegas cepat-cepat menuruni tangga dengan kaos kaki yang masih kutenteng
bersama tasku.
Hari ini ada Long March Tolak
Miss World 2013. Kemarin kak Vania memberitahu acara ini padaku. Malamnya ingin
kuberitahukan pada Kak Elang, tapi karena Kak Elang pulang larut malam,
akhirnya aku tidak sempat memberitahunya.
“Kenapa, Dek?”
“Kakak mau ikut Long March Tolak
Miss World kan?”
“Iya, kok tau dek?”
“Adek ikut”
“Gak dijemput Vania lagi?”
“Ehem, nyariin?”
“Gak gitu. Adek Jealous ya?”
“Idieh, siapaaa juga? Kemarin tuh
diajakin bareng sama kak Vania tapi Adek bilang kalo Adek bareng Kakak aja.
Tapi, Kakak sih. Semalam pulangnya lama banget. Adek tungguin sampe ketiduran,
tau”
“Nungguin Kakak? Tumben”
“Iya, mau bilang biar bareng gitu
ke acaranya”
“Kakak gak tau. Kenapa gak SMS
atau telfon?”
“Emang Kakak bales? Kakak tuh
susah kalo disuruh bales SMS”
Kak Elang tersenyum sambil
mengelus kepalaku.
“Akhirnya jilbabnya dipake juga”
“Doain semoga istqomah. Insya
Allah mau dipake terus”
“Sip. Barang-barangnya udah semua
nih?”
“Iya, tinggal kaos kaki”
“Ya udah, Kakak tunggu di depan
ya”
“Oke, Kak”
Akhirnya aku pun berangkat
bersama Kak Elang. Aku berpikir andai saja Bunda dan kak Farah juga ikut. Tapi,
lain kali akan ku ajak kak Farah dan Bunda. Agar semua bisa paham Islam dan
menjadikan Islam sebagai solusi dalam kehidupan. Terima kasih ya Allah, telah
Engkau bukakan hati ini untuk menjemput hidayahMu. Terima kasih untuk Ayah dan
Bunda yang sudah memberiku nama yang indah. Terima kasih Kak Elang yang selalu
sabar menghadapiku dan terima kasih Kak Vania yang mau mengajariku bagaimana
menjadi seorang Muslimah kaffah.
-SELESAI-
Malang, 23 Oktober 2013. 17:03 WIB.
Ini adalah cerpen yang saya buat pas saya
lagi mood bikin cerpen. Setelah sekian lama saya tidak nulis fiksi dan
berkecimpung di dunia mengarang bebas*huehe* dan kebetulan waktu itu lagi
heboh-hebohnya Penolakan terhadap ajang Miss World :D
Cerita ini asli fiksi. Special for Amirah
Puspadewi yang udah pernah sy kasih draftnya dan Nurintan Sri Utami yang pernah
saya janjiin baca cerpen buatan saya :D
No comments:
Post a Comment