Sunday, 5 June 2016

Date Note


Dalam sejarah perjalananku sebagai seorang “Mak Comblang”, ini adalah track record terparah yang pernah ku alami. Ya, aku gagal sebagai Mak Comblang. Tapi, bukan di situ inti ceritanya. Kali ini, aku tidak hanya gagal tapi sekaligus pensiun dari profesi sampingan sebagai Mak Comblang. Dan semua itu dimulai saat Negara Api menyerang, eh maksudnya saat cowok-cowok BBS Putra Bangsa “kembali” mengekspansi sekolahku.
***
Handphone-ku bergetar. Ada chat masuk. Siapa yang malam-malam gini nge-chat?, pikirku. And guess what? Dari Lea, sahabatku sejak kelas X sampai sekarang.

Lea:
Ve, udh tidur blom?

Aku membalas.

Belom. Ada apa, Le?
Lea:
Gue mau curhat niih…
Tumben lo, tetiba curhat malam-malam gini. Lagi galau?
Lea:
Banget, Ve. Beberapa waktu ini pikiran gue kacau.
Waah, kenapa lo? Salah makan?
Lea:
Ih, gaklah. Kayaknya gue lagi jatuh cinta deh…
Hah? Jatuh cintaaaa???? Demi apa, Le???
Lea:
Demi Allah. Baru kali ini gue segalau ini. Makan gak enak, tidur gak nyenyak.
Serius lo? Ama siapa Le?
Lea:
Tapi, lo jangan shock ya.
Emang kenapa?
Lea:
Janji dulu jangan shock.
Okay. Promise.
                        Lea is typing…
Lea:
Gue suka sama salah satu anak BBS yang tempo hari tanding sama tim sekolah kita. Yang selalu ngoper bola ke Mars.

Buhahaha. Banting setir sekarang? Lo bilang gak bakal suka sama anak BBS kecuali Vega. Sekarang lo malah naksir salah satu anak BBS dan anak basket pula. Le, serius lo gak salah makan? Di antara sekian banyak anak basket di sekolah kita dan selusin yang udah lo tolak, sekarang lo malah kesengsem sama anak tim basket rival sekolah kita? Waah, this is no joke, man.
Lea:
Makanya gue juga gak nyangka, Ve. Tapi serius, gue beneran suka sama dia. Dan lo harus bantuin gue kali ini
Bantuan? Apaan?
Lea:
Comblangin gue sama dia, ya. Pliss… lo kan Mak Comblang terbaik yang pernah gue kenal. Lo nyaris gak pernah gagal nyomblangin orang.
Hah? Nyomblangin lo sama dia? Gimana ceritanya? Sorry, Beb. Kali ini gue gak bisa janji. Kali ini berat misinya.
Lea:
            Ayolah, Ve. Kali ini aja. Ntar kalo dia gak mau sama gue ya udah, gue gak bakal maksa kok. Gue bukan Lea yang dulu. Gue bakal jadi muslimah shalihah kalo gue berhasil dapetin dia.
Waah, Le kayaknya lo udah kesambet jin deh. Istighfar. Salah niat, kualat lo.

Lea:
Makanya lo bantuin gue dong, Ve. Plis, yah, yah, yah?

            Aku berpikir keras. Sebenarnya aku tidak mau berurusan dengan BBS lagi. Bisa panjang urusannya karena BBS dengan sekolahku ibarat klan Hashirama dan klan Uchiha dalam komik Naruto. Tidak pernah akur. Kejadian tempo hari saja sudah cukup bikin geger satu sekolah. Dan nama kakakku, Vega, pasti dibawa-bawa. Apalagi kalo aku ketahuan berurusan sama salah satu siswa BBS. Dan pertanyaan terbesarnya, bagaimana aku bisa mencari info di sekolah super eksklusif itu?

            Lea is typing…

Lea:
Ve? Lo belum tidur, kan?
                                    Eh iya, belum kok.

Aku tersadar bahwa aku terlalu lama berpikir.  

Lea:
Gimana, Ve? Bisa kan?
Iya deh. Ini pertama dan terakhir, okay? Lo tau kan resikonya kalo sampe orang-orang pada tau?
Lea:
            Iya Ve. Gue tau kok. Tenang aja, gue udah siap dengan segala resikonya. Thank you, Dear. Lo emang sahabat terbaik gue. Muach muach. See you tomorrow, Ve sayaang. :*
Ck, semangat amat mengejar cinta. Sana, Semangat ngerjain PR sana biar gak dihukum lagi. Awas aja kalo karena kepikiran si cowok itu lo jadi tambah bego :P
Lea:
            Siap, Kapten Venus! ^^
***
            “Ve, hari ini mampir ke sekolah Kak Vega, ya. Bisa kan?,” Pertanyaan Mama pagi ini membuatku nyaris melompat dari kursi saking senangnya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, pikirku. Mungkin ini sebabnya aku tidak pernah gagal jadi Mak Comblang. Keberuntungan selalu berada di pihakku. Yeah!
            “Tumben Mama gak ke sana,” jawabku dengan jawaban retoris. Padahal, jawabannya tinggal “bisa” atau “gak”.
            “Hari ini Mama ada deadline pemesanan catering. Jadi, mama sekalian bantu plus ngawasin juga. Bisa kan, Ve? Sekalian bawain makanan sama multivitamin buat Vega dan Mars. Oya, Vega juga nitip bawain sepatunya. Mama lupa bawain waktu terakhir kali ngunjungin dia,” kata Mama.
            “Siap, laksanakan Boss Mama!,” jawabku dengan senyum merekah.
            Aku langsung bergegas ke kamar Kak Vega dan mengambil barang yang harus kubawa.
            “Ve berangkat ya, Ma,” aku mencium tangan Mama lalu bergegas ke sekolah dengan barang yang lebih banyak dari biasanya. Namun, aku nyaris tidak merasa keberatan membawanya. Rasa bahagia bahwa aku akan bisa masuk ke BBS lagi (terakhir kali saat mengantar Kak Vega di tahun pertamanya bersekolah). Dan yang pasti, hari ini aku bisa mulai menjalankan misiku. Mencari tahu tentang orang yang disukai Lea.
***
            Namaku Venus. Sekarang aku tercatat sebagai siswi kelas XI di SMA Nusantara. Sekolahku adalah salah satu sekolah swasta yang cukup diminati. Aku memiliki seorang kakak yang sangat kusayangi. Namanya Vega. Usia kami hanya terpaut satu tahun. Kakakku bersekolah di Putra Bangsa Boys Boarding School. Kami sering menyingkatnya dengan BBS Putra Bangsa atau BBS saja. Sekolah kami adalah rival sejak lama. Salah satu alasanku memilih SMA Nusantara adalah karena sekolahku berdekatan dengan sekolah Kak Vega. Persaingan antara sekolah kami begitu ketat. Siswi di sekolahku terkenal dengan kecantikan dan kepintaran mereka, sedangkan siswa BBS terkenal dengan ketampanan dan prestasi mereka, khususnya tim basket-nya. Kakakku salah satu personil tim basket BBS. Dia kapten tim basket BBS. Namun, seketat apapun persaingan mereka, aku tidak begitu tertarik dan tidak begitu peduli. Aku hanya ingin berdekatan dengan kakaku, itu saja.
            Sejak kelas X akhir aku terkenal dengan julukan “Mak Comblang” di sekolah setelah aku berhasil mengantarkan sepasang siswa-siswi sebagai kekasih. Tidak ada niatan sama sekali untuk jadi Mak Comblang. Hanya saja kenapa aku berusaha mati-matian karena aku mengetahui sang gadis menyukai kakakku. Aku tidak ingin ada yang mendekati kakaku selain orang yang kupilih. Aku bahkan berhasil menjodohkan siswi di sekolahku dengan siswa BBS. Sayangnya, hal tersebut menuai kontroversi di kemudian hari yang juga melibatkan kakakku karena waktu itu kakakku adalah Ketua OSIS. Setelah itu, mereka membuat perjanjian tak tertulis bahwa siswa BBS tidak boleh dekat apalagi berpacaran dengan siswi SMA Nusantara.
            Namun, sepertinya kali ini aku yang akan melanggar perjanjian tidak tertulis itu. Demi Lea, sahabatku, aku harus siap dengan resikonya. Aku berharap semoga kali ini kakakku tidak terlibat lagi seperti dulu.
            Dan satu lagi, aku memiliki sepupu yang seumuran denganku. Aku lahir lebih dulu dari dia. Sayangnya kami tidak begitu akur. Namanya Mars. Dia sangat dekat dengan Kak Vega. Aku sering cemburu jika Kak Vega lebih memperhatikan Mars daripada aku. Tapi, lama-kelamaan aku mencoba mengerti dan menganggapnya selayaknya saudara, meskipun tetap saja sikap menyebalkannya tidak bisa ditolerir.
***
            “Serius lo? Kesambet jin mana lo?,” Mika terheran-heran saat Lea menceritakan apa yang ia ceritakan padaku semalam.
            “Iya, gue serius, Ka,” jawab Lea. Ya, Lea memang cantik. Dia banyak menjadi incaran siswa-siswa di sekolah.. Tidak hanya cantik, Lea juga violinist dan composer. Dia adalah ketua tim orkestra sekolah.
            “Lo juga, Ve. Serius lo mau bikin gara-gara lagi kali ini?,” tanya Mika lagi. Dia adalah orang yang sangat peduli pada nasibku dan Lea. Apalagi saat aku membuat masalah beberapa waktu yang lalu karena insiden “pasangan beda sekolah” itu.
            I just try my best. Toh cuma nyoba. Lagian, gue belum tau siapa orang yang bisa bikin “Princess Elsa” ini meleleh? Eh, lo belum bilang sama gue orangnya. Anak BBS yang waktu itu datang kan banyak,” kataku kemudian.
            “Namanya Bintang Altair. Bagus, kan? Dia seangkatan sama kita. Adik kelas Kak Vega. Katanya dia jago banget gambar. Dan pastinya dia cakep, hehehe,” kata Lea dengan wajah merona.
            “Ih, kalimat lo yang terakhir bikin gue merinding tau gak. Cakepan Kak Vega kemana-mana kali,” kataku.
            “Iya deh, lo kan fans sejatinya kak Vega. Heran deh gue kok lo bisa punya sindrom Big Brother Complex kayak gitu, Ve,” kata Lea.
            “Eh, tapi ngomong-ngomong cuma itu aja informasi yang lo tau tentang dia?,” tanya Mika.
            “Itu udah cukup, Ka. Lagian, lo kok bisa tau sih? Jangan bilang lo punya mata-mata anak BBS,” kataku penuh selidik.
            “Gaklah. Kalo iya, gue gak mungkin minta tolong sama lo, Ve. Sejak hari itu, diam-diam dia jadi pembicaraan seantero sekolah. Gak Cuma dia sih, dia dan tujuh orang temannya yang semua namanya kayak nama lo, kakak lo dan sepupu lo. Gue denger salah satu dari mereka ada yang namanya Bumi. Gila kan? Trus lo Venus. Waah, bakal kayak gimana ya?,” kata Lea.
            “Hush! Jangan mulai deh Drama Queen lo!,” kataku cepat-cepat.
            “Trus, gimana cara lo bisa tau tentang si Bintang itu, Ve?,” tanya Mika.
            “Tenang. Hari ini keberuntungan lagi berada di pihak gue. Mikayla, mungkin ini efek gue temenan sama lo. Ntar gue bakal ke BBS,” kataku sambil tersenyum penuh kemenangan.
            “Serius lo, Ve? Demi apa lo ke BBS?,” Lea dan Mika langsung berteriak bersamaan seperti dikomando.
            “Ssst!! Ntar orang-orang pada denger, habis kita,” kataku.
            “Waaah, lo bener-bener luar biasa, Ve. Baru juga dapat misi udah nemu peluang aja,” kata Mika.
            “Biasa, misi dari nyokap. Hari ini nyokap gak bisa ngunjungin Kak Vega. Jadi, gue yang ke sana,” jawabku.
            “Aaah, Venuuusss! You are my heroine today!,” Lea langsung memelukku.
            Hari ini aku benar-benar merasa di atas angin. Jauh sebelum hari ini aku tidak pernah menduga bahwa setelah hari ini Allah sedang berencana membuat titik balik dalam hidupku.
***
            Setelah menunjukkan kartu kunjungan orang tua dan identitas diri, aku berhasil masuk ke BBS. Karena ini hari Sabtu, sekolah menjadi lebih ramai. Pasti karena hari ini hari ekstrakurikuler. Dan benar saja, aku seperti masuk ke dalam Jurassic Park. Semua orang langsung melihat ke arahku. Seragamku dan mereka memperhatikan wajahku dengan teliti. Setelah itu mereka langsung tahu siapa aku. Wajahku memang mirip dengan kak Vega. Jika rambutku dibuat sependek Kak Vega pasti kami dikira saudara kembar. Teman-teman sekolah Kak Vega menyebutku Vega versi perempuan.
            “Ve!,” sebuah suara yang tidak asing memanggilku. Suara yang sangat kurindukan. Suara kakakku.
            “Kak Vega!,” balasku.
            “Mama udah bilang kan kalo hari ini gak bisa ke sini?,” tanyaku padanya.
            “Iya, sudah kok. Kakak kira kamu gak bakal berani ke sini lagi,” kata Kak Vega. Aku mulai merasa hawa tidak enak. Jika sudah seperti ini dia pasti ingin mulai menjahiliku seperti biasanya.
            “Kalo kangen bilang aja. Gak usah nge-bully,” balasku segera.
            “Tau aja kalo Kakak kangen. Kamu makin cantik aja. Habis makan lulur ya?,” kata Kak Vega.
            “Tuh mulai lagi. Awas ya! Kakak pikir Ve gak berani nonjok Kakak di sini?,” balasku.
            “Iih, tega banget sama Kakak sendiri. Nona Saebom jangan galak-galak,” kata Kak Vega.
            “Eiya Kak, ini barang-barangnya,” kataku kemudian.
            “Makasih adikku sayang. Eh, ayo masuk dulu. Mumpung ini weekend jadi gapapa ngajak orang luar masuk,” kata Kak Vega.
            “Awas ya kalo aku dikerjain”.
            “Tenang. Kakak cuma mau minta dibantuin bawa ini. Berat tau bawa sendiri”.
            “Kakak pikir Ve gak berat bawanya? Lagian ngapain gak bawa teman ke sini tadi?”
            “Jangan ah. Ntar mereka rebutan mau kenalan sama kamu”.
            “Dasar cowok! Trus, ngapain aku diajak ke dalam?”
            “Gapapa. Kan ada Kakak”.
            “Ih, mulai deh”.
            Aku diajak masuk ke dalam sekolah dan kemudian kami menuju ke ruang Club Basket.
            “Venus?,” seru seseorang saat kami tiba di depan pintu ruang Club Basket. Aku langsung mengenalinya. Wajah dingin tanpa ekspresi itu. Dia Mars, sepupuku.
            “Kenapa? Kaget?,” balasku.
            “Tumben ke sini,” katanya.
            “Iya, diminta tolong Mama soalnya Mama lagi ada deadline catering, Kak. Eiya, kok cuma berdua aja di sini? Yang lain kemana?,” kataku sambil mulai menjalankan misiku. Pertama aku melihat sekeliling ruangan, mencari foto profil tim basket BBS sembari Kak Vega dan Mars membereskan barang-barang yang kubawa.
            “Eiya kak, di sini ada yang namanya Bintang Altair?,” tanyaku kemudian yang membuat keduanya sukses mengarahkan pandangannya ke arahku.
            “Eh, kenapa lo tiba-tiba tanyain Al?,” tanya Mars. Dia memang selalu curiga padaku saat aku bertanya tentang anak laki-laki Kak Vega.
            Ooh, jadi nama panggilannya Al, batinku.
            “Gak kok. Cuma tanya aja. Soalnya di sekolah lagi heboh nyebut-nyebut nama Bintang Altair. Kirain pelajaran astronomi. Orangnya yang mana sih?,” kataku asal.
            “Dulu dia di tim ini. Tapi, beberapa hari sebelum turnamen sekolah dia dan teman-temannya ngundurin diri dan pada banting setir ngebangun ROHIS sekolah yang mati suri,” jelas Kak Vega.
            “ROHIS?,” keningku berkerut.
            “Iyap. Dia sekamar lho sama Mars,” kata Kak Vega lagi.
            “Serius Mars? Dia sekamar sama lo?,” aku masih tidak percaya.
            “Dari tahun lalu,” jawab Mars.
            “Dia teman dekat Mars juga. Mereka semua dekat. Kakak jadi senang sekarang Mars punya banyak teman dekat,” kata Kak Vega tersenyum riang.
            Bintang Altair udah gak di tim basket, tapi di ROHIS BBS. Jadi sekarang BBS punya ROHIS? Wah, makin complicated aja nih urusan kalo begini, batinku lagi.
            “Ve, kamu gapapa kan? Malah ngelamun,” kata Kak Vega.
            “Ah, gapapa Kak. Ya udah Kak, Ve balik sekarang, ya. Hari ini gak ada yang jemput jadi Ve pulang sendiri,” kataku.
            “Beneran gapapa pulang sendiri?,” tanya Kak Vega.
            “Iya, gapapa. Masih jam segini juga,” jawabku.
            Setelah itu mereka mengantarku sampai ke depan gerbang sekolah.
            “Hati-hati, ya. Salam buat Mama sama Papa,” kata Kak Vega saat kami sampai di depan gerbang sekolah.
            “Sip,” jawabku.
            “Itu Al,” kata Mars tiba-tiba.
            Aku menoleh ke arah yang dituju Mars dan betapa kagetnya saat aku melihatnya. Aku pernah melihatnya beberapa kali.
            “Pasti habis rapat. Anak ROHIS biasanya rapat di akhir pekan. Oya, mereka mau ngadain acara joinan sama sekolahmu lho Ve,” kata Kak Vega. Tapi suara Kak Vega samar karena saat aku melihat ke arah Bintang Altair, dia tidak sendiri. Dia bersama seseorang yang kukenal. Aquilla, Koordinator Keputrian ROHIS sekolahku. Mereka sepertinya sangat akrab. Ekspresi keduanya menunjukkan kalau mereka memiliki hubungan yang tidak biasa. Apa jangan-jangan mereka…???
***
Apa-apaan ini? Aquilla sama Al? Ada hubungan apa mereka? Masa iya mereka pacaran? Anak ROHIS? Gak mungkin banget. Anak ROHIS masa pacaran? Kayaknya itu gak ada di dalam kamus mereka. Tapi, kok mereka jalan berdua gitu? Tampangnya juga bahagia banget.
Sepanjang jalan pulang pikiranku berkecamuk tidak karuan. Bahkan sampai di rumah aku masih tidak berhenti memikirkan apa yang kulihat tadi sore. Misiku mencari tahu tentang Al belum selesai, ini sudah ada masalah baru lagi. Tentu aku tidak mungkin langsung menyampaikan semua yang kulihat hari ini kepada Lea. Itu sama saja mematahkan hatinya sebelum dia mencoba. Lalu, aku harus bagaimana? Oh God, what should I do? Haruskah aku mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu?
Sebuah pesan masuk dari Lea.
Lea:
Ve, gimana tadi?
                            Gue tadi ke sana. Tapi, gue gak bisa nanya banyak. Ada Mars. Dan lo harus tau kalo si Altair itu teman sekamarnya Mars dari tahun lalu.
Lea:
Pantesan mereka waktu itu barengan. Jangan-jangan sama teman-temannya yang dari galaksi sebelah itu.
Haha, bisa jadi Le. Tapi, sekarang si Altair udah gak di tim basket lagi.
Lea:
Serius?
                            He’eh. Dia sekarang udah di ROHIS. Dia sama teman-temannya kecuali Mars sekarang ngebangun lagi ROHIS BBS. Jadi, sepertinya kali ini lo harus mundur teratur, Le. Mana ada anak ROHIS yang mau pacaran?
Lea:
Hiks, berarti gue nyerah aja nih? :’(
                            Gue gak mau PHP-in lo. Dan ya kita harus realistis. Jalan lo sama dia beda.
Lea:
Patah hati deh gue T_T
                            Tapi, ya gak tau juga kali aja lo sama dia jodoh. Tenang aja, jodoh pasti bertamu kok, eh bertemu :D Sabar ya, Le. I’ll pray the best for you as always. Lo nyari yang lain aja deh ya. Lagian, di antara sekian banyak kenapa harus Bintang Altair sih?
Lea:
Lo sih gak pernah ngerasain. Tapi, awas aja kalo lo suka sama dia.
Ya ampuun, segitunya. Gini-gini gue tipe orang yang loyal. Lagian, Kak Vega tetap irreplaceable buat gue.
Lea:
Dasar Big Brother Complex
                            Haha, biarin :P

Malam itu akhirnya misiku selesai. Setidaknya aku berhasil tidak memberitahu semua yang kulihat pada Lea. Dia pasti sudah cukup sedih karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Sebenarnya, sejak awal memang sudah tidak mungkin. Bagaimanapun juga Bintang Altair tetap anak BBS. Selain itu, sekarang dia juga adalah anak ROHIS. Lengkap sudah ketidakmungkinannya. Tapi, ada misi yang lain. Aku harus mencari tahu ada hubungan apa antara Aquilla dengan Altair. Aku masih sulit menyerah untuk hal yang satu ini. Jika memang tidak ada hubungan apa-apa, bisa jadi suatu saat Lea akan punya kesempatan. Namun, sepertinya misi ini tidak akan berjalan semudah yang kubayangkan.
Benar saja. Keesokkan harinya chat group sekolah beserta chat group kelas heboh dengan berita Aquilla dan Altair. Dua hal yang pastinya disoroti, yaitu mereka beda sekolah dan mereka tercatat sebagai anak ROHIS. Sepanjang yang kutahu, anak ROHIS tidak ada yang pacaran. Sepanjang penglihatanku selama ini Aquilla tidak pernah dekat dengan siswa laki-laki dan jika pun berinteraksi itu hanya sebatas urusan pelajaran atau hal yan berkaitan dengan kelas. Tapi, jika memang mereka benar-benar pacaran… Tapi, masa iya? Aaaarrrrggghhh, aku jadi tambah penasaran. Dan satu lagi, Lea pasti sudah tahu tentang hal itu.
“Ve, big news!,” seru Mika saat aku bergabung dengan mereka di taman sekolah saat istirahat sekolah.
“Iya, sepagian ini kayaknya Aquilla langsung jadi trending topic,” jawabku sambil melirik ke arah Lea. Dia sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
“Gak mungkin kan, Ve?,” katanya sambil memandang lapangan basket di seberang kami dengan tatapan yang menerawang jauh.
“Hmm? Apaan?,” tanyaku.
“Ya, gak mungkin mereka ada apa-apanya,” jawab Lea dengan mata berkaca-kaca.
“Tapi, Le kalo misalnya bener…,” aku langsung memberi isyarat kepada Mika dengan tatapan setajam elang sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.
“Yuk, kita selidikin,” kataku kemudian menepuk pundak Lea.
“Serius lo Ve?,” Mika dan Lea langsung menoleh ke arahku.
Aku mengangguk.
“Gue juga ngerasa ada yang aneh. Gak mungkin Al sama Aquilla ada apa-apa,” jawabku.
“Al?,” kata Lea kemudian.
“Ah, iya. Itu nama panggilannya,” jawabku.
“Venus, kok lo gak ngasih tau gue sih?,” Lea mulai protes.
“Eh iya ya? Berarti gue lupa, Le. Sorry,” kataku.
“Ih, parah nih. Lo pensiun aja jadi Mak Comblang. Lo gak trusted,” kata Lea dengan wajah cemberut. Aku dan Mika hanya tersenyum melihatnya dengan ekspresi lucunya itu.
***
Aku pun memulai misi penyelidikanku bersama Lea dan Mika. Hari ini kami berencana mengikuti pengajian umum yang diselenggarakan oleh ROHIS sekolahku. Hari ini untuk pertama kalinya kami mendatangi masjid sekolah untuk mengikuti pengajian. Sebelumnya kami lebih memilih untuk bermain entah itu ke mall, karaoke, toko buku atau tempat bermain lainnya daripada mengikuti pengajian. Hari ini untuk pertama kalinya juga kami memakai kerudung ke sekolah. Saat kami sampai di depan pintu, semua tampak heran terutama Aquilla, Jingga dan Renia yang merupakan pengurus ROHIS sekolah. Sebelum ini mereka lebih sering melihatku di ruang latihan Taekwondo, melihat Lea di ruang musik dan melihat Mika di ruang majalah sekolah. Dan yang pasti mereka kaget karena kami memakai kerudung.
“Kita boleh masuk?,” tanyaku yang masih berdiri di depan pintu.
“Oh, boleh banget,” kata Aquilla sambil tersenyum kemudian menyalami kami satu per satu. Kami pun bersalaman dengan peserta lain. Di sana juga ada Eleanor dan Lyra, teman sekelas kami.
Aquilla adalah teman sekelasku saat kelas X. Aku juga mengetahui dia bergabung di ROHIS sejak semester satu. Sejak saat itu penampilannya berubah. Menurut sebagian besar orang itu aneh, tapi menurutku itu anggun. Elegan dan berwibawa. Ya, aku berbicara tentang hijab Syar’i yang dipakai Aquilla dan teman-temannya di ROHIS. Satu lagi, senyum Aquilla seperti mengingatkanku pada seseorang yang entah siapa. Aku seperti pernah melihat seseorang tersenyum seperti Aquilla. Tapi, dimana?
            Hari ini kebetulan topik yang dibahas tentang sistem pergaulan di dalam Islam. Materi yang disampaikan sangat luar biasa. Tidak hanya aku yang terpesona kepada isi materinya, tetapi juga Lea dan Mika. Selama ini aku hanya mengetahui sangat sedikit tentang Islam. Aku tidak tahu apapun selain hal yang diajarkan dalam pelajaran agama. Aku tidak tahu bahwa Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk bagaimana pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Aku akhirnya memahami kenapa di dalam Islam tidak boleh ada aktivitas pacaran. Tidak hanya itu, aku juga mengetahui bahwa perempuan diwajibkan menutup aurat mereka secara sempurna. Selain itu, dijelaskan juga mengapa hari ini tidak semua orang Islam memahami tentang sistem pergaulan ini. Ternyata, sistem ini tidak boleh berdiri sendiri dan memang tidak berdiri sendiri hanya dalam pilar individu saja atau hanya individu dan masyarakat saja, tetapi juga harus ada peran dari negara. Oleh karena itu, Islam juga mengatur tentang sistem pemerintahan yang akan merealisasikan sistem ini. Hal ini menjadi sangat jelas hari ini bahwa tanpa sistem pemerintahan Islam pergaulan bebas merajalela, tidak hanya pacaran, bahkan sampai kepada seks bebas dan kejahatan seksual seperti pemerkosaan, pencabulan dan sebagainya. Menurutku itu sangat luar biasa. Aku tidak pernah menyangka Islam memiliki pengaturan yang begitu sempurna dalam kehidupan. Tanpa kami sadari kami adalah peserta teraktif pada pengajian kali ini. Niat kami semula adalah mencari kesempatan untuk Lea agar bisa lebih dengan Al namun lewat pengajian ini niat itu seolah luntur bahkan lenyap. Mata kami berbinar dan hati kami bergetar menyimak penjelasan oleh pemateri. Bahkan setelah pengajian selesai, kami masih berada di masjid untuk memuaskan rasa penasaran kami. Kami berdiskusi banyak dengan Aquilla dan teman-temannya hingga magrib menjelang. Hari itu kami pulang dengan perasaan bahagia dan puas dengan semua jawaban yang diberikan.
***
            Sejak hari itu kami semakin sering terlibat diskusi dengan teman-teman ROHIS. Perlahan, kami pun mulai mengubah penampilan dan kebiasaan kami. Setelah ujian kenaikan sabuk, aku memutuskan untuk berhenti dari club Taekwondo dan mulai mengenakan jilbab dan kerudung. Tentu semua kaget dengan perubahanku. Kak Vega hanya tertawa saat dia melihatku dengan penampilanku yang sekarang. Namun, ekspresi berbeda ditunjukkan oleh Mars. Dia terlihat bahagia dengan perubahanku. Setelah kutelusuri ternyata Mars juga sudah bergabung di ROHIS bersama teman-temannya saat gossip tentang sekolahku dan sekolahnya sedang panas-panasnya.  Hal yang sama juga terjadi pada Lea. Lea berhenti dari club orkestra dan mengikuti langkahku. Begitu juga dengan Mika. Namun, Mika tetap menjadi editor di majalah sekolah. Melalui Mika kami akhirnya berhasil melawan Black Campaign tentang ROHIS serta membersihkan nama Aquilla dengan elegan.
            Inilah titik balik dalam hidupku. Islam membantuku menemukan pencarianku selama ini. Aku pun berhenti menjadi Mak Comblang secara resmi. Sekarang aku bukan lagi Venus si Mak Comblang. Aku adalah Venus, seorang Muslimah yang sedang belajar menjadi Muslimah yang sempurna. Muslimah yang taat kepada syariat Allah. Sejak saat itu pula aku tidak pernah lagi menanyakan bagaimana perasaan Lea pada Al. Lea juga sudah tidak pernah membahasnya. Sekarang Lea menyibukkan diri dengan kegiatan ROHIS dengan membantu mengisi acara setiap kali ada pengajian spesial khusus perempuan. Lea selalu mengisi bagian background music untuk muhasabah, monolog maupun musikalisasi puisi. Dan inilah jawaban atas doanya beberapa waktu yang lalu. Bedanya adalah dia tidak jadi pacaran dengan Al. Yah, mungkin suatu saat. Tapi, bukan pacaran. Sesuatu yang jauh lebih baik daripada pacaran. Apalagi kalau bukan menikah? Semoga saja.
Sampai hari ini aku tidak tahu ada hubungan apa antara Al dengan Aquilla. Sebenarnya aku berencana menanyakannya. Hanya saja, karena gossip itu sudah berlalu kupikir tidak perlu menanyakannya lagi. Toh itu masa lalu.
“Assalamu’alaikum,” seseorang menyapaku.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah. Hai, Ki,” jawabku padanya. Dia tersenyum.
“Sendirian aja, Ve,” katanya yang kemudian mengambil tempat duduk di sebelahku dengan minumannya.
“Iya. Lea sama Mika lagi ke perpus. Habis balikin buku mereka nyusul ke sini,” kataku.
“Eiya, bisa gak kalo jadwal latihan Taekwondo-nya digeser? Ternyata kita masih harus rapat lagi sama anak-anak BBS,” katanya.
“Ah, iya. Gapapa kok. Aku juga belum mastiin ke Saebom lagi untuk tempatnya. Mungkin setelah UTS aja kali ya, latihannya?”
“Bisa, in syaa Allah. Eiya, nanti kamu bantuin untuk follow up pasca acara ya. Rencananya bakal ada FGD gitu”.
“Sip, sip”.
“Ah iya, Ve. Aku lupa waktu itu mau ngomong ke kamu”.
“Soal apa?”
“Soal Al”.
“Al? Emang kenapa sama Al?”
“Kenapa aku tenang-tenang aja pas ada gossip itu”.
“Trus?”
“Karena Al itu saudara kembarku,” bisiknya kemudian beranjak dari tempat duduk itu dan meninggalkanku.
“Ooh, gitu. Pantesan aja kalian kayaknya mirip. Senyum kamu familiar. Jadi karena itu,” aku mengangguk.
Wait, saudara kembar? Whaaaat!!?? Aquillaaaa!!!
SELESAI

Jazakillah khairan katsir buat Ami untuk ide tulisannya. Inget banget ini waktu kita lagi heboh tentang Death Note. Jazakillah khairan katsir juga buat Nila yang udah nyemangatin dan akhirnya bisa selesai juga. Sorry ya, ini udah gak sama dengan yang aku tulis sebelumnya. Tapi, inti ceritanya sama. And this is not the end. This is just the beginning ^^


No comments:

Post a Comment