Friday, 21 February 2014

CINTAKAH???

Satu hal yang membuatku bersyukur ketika aku menginjakkan kaki di sekolah ini untuk pertama kalinya adalah karena aku termasuk salah satu dari segelintir siswa yang bisa masuk ke sekolah favorit melalui jalur beasiswa, sehingga aku tak perlu terlalu memikirkan biaya sekolah yang bisa kupastikan takkan mampu kutanggung bersama orang tuaku.
Namun, ada satu hal lagi yang membuatku merasa bahwa hidupku tidak sia-sia. Di sekolah yang kupikir hanya dihuni oleh orang-orang yang serba kecukupan dan tak peduli dengan keadaan sekitarnya ini mampu mengubahku. Mengubahku menjadi seseorang yang sebelumnya tidak kupikirkan. Di sekolah ini aku bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Mereka tidak hanya kuanggap sebagai sahabat, tetapi juga saudara karena kami semua memiliki keyakinan yang sama bahwa Allah swt adalah satu-satunya Tuhan yang harus disembah dan Rasulullah saw adalah utusan yang Dia utus untuk memberi rahmat di seluruh alam raya ini dengan sebuah risalah yang sempurna, Islam. Itulah aku yang sekarang.
Saat akhir semester dua di kelas X, aku bergabung di organisasi kerohanian di sekolahku. Rohis atau Kerohanian Islam. Organisasi yang paling sedikit diminati oleh siswa-siswa di sekolah favorit sekaliber sekolahku. Kebanyakan murid-murid di sekolahku lebih tertarik dengan OSIS, club olahraga dan seni, serta kelompok yang bersifat akademik belaka. Ya, jumlah kami sangat sedikit dibanding organisasi dan kelompok ekstrakurikuler lainnya di sekolah tetapi itulah yang membuat kami istimewa. Benarlah, bahwa orang-orang istimewa itu langka karena mereka sedikit dan aku bangga bisa bersama teman-teman di Rohis.
---
Hari ini, seperti biasa saat pulang sekolah, lingkungan sekolahku langsung menjadi lautan manusia. Belum lagi teman-teman yang membawa kendaraan ke sekolah. Mulai dari sepeda, sepeda motor sampai mobil dengan harga yang tidak bisa dibilang murah.
Aku hanyalah satu diantara beberapa siswa yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Setiap hari aku harus naik kendaraan umum. Tetapi, aku tidak minder. Dan aku tidak ingin minder. Selama aku bisa melaksanakan kewajibanku dengan taat pada aturan Allah, itu sudah cukup.
Seperti biasa, setelah menyelesaikan semua urusanku di sekolah, aku pulang melewati gerbang timur sekolahku. Di sana memang khusus untuk siswa yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Namun, hari ini ada yang berbeda. Semoga saja aku tidak sedang mengkhayal.
Saat sedang berjalan, tiba-tiba sebuah mobil yang tidak asing berhenti di sampingku. Pintu depan mobil langsung terbuka. Aku kaget dan langsung menghentikan langkahku. Dari dalam mobil seseorang mengeluarkan kepalanya.
“Rhe, pulang bareng yuk,” katanya.
Aku hampir tidak percaya dengan apa yang aku lihat sampai aku memastikan dengan sedikit menunduk.
“Yudhis?,” hanya itu ucapan yang bisa kukeluarkan.
“Kenapa? Kaget ya?,” katanya lagi sambil tersenyum.
“Ng,nggak kok. Cuma aneh aja. Kamu tiba-tiba ngajakin pulang bareng. Kayaknya iklim Indonesia belum berubah deh, masih tropis,” aku tidak sadar dengan ucapanku. Aku tidak bermaksud bercanda.
“Apa hubungannya dengan iklim? Garing banget. Emang salah kalo kita pulang bareng?,” tanyanya.
“Bukannya kamu pacaran sama Gizza ya? Kemana dia? Kok gak bareng?,” kataku seadanya.
“Udah, gak usah nyebut-nyebut dia lagi. Aku udah gak ada apa-apa sama dia,” balasnya.
Aku masih belum percaya dengan apa yang kulihat dan kudengar. Lama aku terdiam. Aku berpikir. Erlangga Yudhistira. Teman sekelasku sejak kelas X. Anak seorang pengusaha sukses. Sejak masuk sekolah dia telah merebut perhatian banyak siswi termasuk senior. Semester lalu dia terpilih sebagai wakil ketua OSIS. Selain pintar, dia juga terkenal sering bergonta-ganti pacar. Dan semua pacarnya juga primadona sekolah. Kelasku selalu jadi pusat perhatian 90% karena keberadaannya. Aku hampir tidak pernah bertegur sapa dengannya. Hanya saat-saat tertentu saja dan biasanya saat itu aku akan menjadi lawan debatnya. Apalagi dengan pemahamannya yang kesana-kemari, aku pasti akan menyesal kalau tidak mendebat pendapatnya. Dan yang ajaib adalah hari ini dia mengajakku pulang bersama. Sangat tidak biasa.
“Kamu kenapa Rhe? Kamu baik-baik aja kan?,” kata-katanya membuyarkan lamunanku.
“Gak, aku gak apa-apa kok. Kayaknya kita udah terlalu lama berdiri di sini. Udah sore. Aku harus buru-buru pulang. Kayaknya kamu salah ngajak orang deh,” aku langsung mempercepat langkahku meninggalkannya.
“Rhe, jangan pergi dulu!,” kata Yudhis. Tetapi aku tidak ingin berbalik. Aku berjalan sangat cepat dan mulai berlari kecil menghampiri angkutan umum seolah aku tidak mendengar kata-katanya.
Saat di dalam mobil, aku beritighfar berkali-kali.
“Ya Allah, apakah ini ujianMu yang baru untukku?,” batinku sambil mengelus dada.
---
Handphone-ku berdering. Private number. Kupikir tak perlu kuangkat. Sepertinya salah sambung. Di zaman Kapitalis seperti sekarang, orang-orang menjadikan alat komunikasi untuk hal-hal yang tidak berguna. Lebih banyak menggunakannya untuk bermaksiat daripada untuk ibadah, dalam artian melakukan hal yang lebih berguna.
Anehnya, handphone-ku berdering lagi. Untuk yang kesekian kalinya. Aku tidak tahan. Padahal, aku harusnya sudah tidur daritadi. Besok ada ulangan dan aku harus mempersiapkan agenda rapat Rohis. Akhirnya aku angkat dengan terpaksa.
“Halo? Kok lama banget ngangkatnya?,” kata sebuah suara di seberang telepon.
“Ini siapa?,” tanyaku.
“Masa gak kenal suaraku? Padahal kita selalu sekelas”
“Siapa sih? Ada perlu apa nelfon malam-malam? Kalo gak penting lebih baik tutup aja,” kataku agak ketus.
“Aku gak nyangka Rhe, kamu bisa jutek juga”
“Aku lagi gak pengen bercanda. Ini dengan siapa dan ada perlu apa? Kamu tau gak sekarang jam berapa?”
“Iya, aku tau kok. Sekarang jam 11 lebih 10 menit 21 detik”.
“Kalo udah tau, kenapa masih telfon jam segini? Kamu tau sekarang kamu lagi telfonan sama siapa?”
“Iya, aku tau. Aku lagi telfonan sama Rhe, cewek jutek, nyebelin tapi sering bikin aku kepikiran”.
Astaghfirullahaladzim, sepertinya orang ini benar-benar harus kutegasi.
“Maaf ya, aku gak ada waktu ngobrol gak penting sama orang yang gak punya sopan santun,” aku langsung menutup teleponnya.
Namun, beberapa saat kemudian, ada SMS. Nomor yang tidak kukenal.
Rhe, ini aku yang telfon kamu tadi. Kamu kok ketus banget sih? Padahal kan aku Cuma pengen ngobrol. Ngomong-ngomong kamu udah belajar buat besok?
.Yudhis.
Lagi-lagi aku terkejut. “Apa-apaan orang ini?,” pikirku.
Sepertinya kejadian sepulang sekolah tadi bukan sekedar kebetulan. Dan aku harus tahu apa maksudnya melakukan semua ini.
“Ya Allah, semoga aku tidak bertindak berdasarkan naluriku yang terbatas,” kusisipkan doa itu sebelum tidur.
---
Keterkejutanku masih berlanjut sampai keesokkan harinya. Aku menemukan sekotak cokelat dan sebuah surat di tempat dudukku.
“Rhe, apaan tuh?,” Alya, teman sebangku-ku yang juga bergabung di Rohis bersamaku langsung merebut cokelat dari tanganku sedangkan suratnya terjatuh.
“Wah, cokelat. Aku mau dong,” katanya sambil bersiap-siap membuka bungkusan cokelat itu.
“Eh, jangan!,” kataku cepat-cepat.
“Kenapa?,” jidat Alya berkerut.
“Itu bukan punya aku. Kayaknya ada orang salah naruh deh,” jawabku.
“Maksud kamu?”
“Ini ada suratnya,” jawabku.
“Ayo, buka!,” kata Alya.
“Gak. Nanti aja. Biar Farah lihat dulu,” kataku.
“Rhe, biasanya sih kalo surat ada cokelatnya, isinya pasti surat cinta”
“Ah, sembarangan aja kamu, Al. Siapa juga yang mau ngirimin aku surat cinta? Di sekolah ini kan banyak primadona. Dan gak ada sejarahnya anak Rohis di sekolah ini jadi primadona”
“Kali aja secret admirer kamu, Rhe”
“Gak mungkin. Aku gak ngerasa ngelakuin sesuatu yang bikin aku punya secret admirer
Aku melihat sekelilingku. Dan saat melihat ke arah pintu, pandanganku tak sengaja bertemu dengan pandangan Yudhis. Aku langsung berbalik sambil beristighfar.
“Gak mungkin Yudhis orangnya”, pikirku. “Astaghfirullahaladzim, ya Allah semoga aku gak ge-er”.
Sepanjang pelajaran aku beristighfar tiada henti. Sampai akhirnya bel istirahat berbunyi. Aku dan Alya langsung ke masjid sekolah mencari Farah, kordinator keputrian Rohis.
“Assalamualaikum,” kataku dan Alya bersamaan.
“Waalaikumussalam warahmatullah,” jawab Farah sambil tersenyum.
“Aku mau kamu baca ini,” kataku tanpa basa-basi.
“Ini apa Rhe?,” Tanya Farah bingung.
“Surat, Far. Surat dari secret admirer-nya si Rhe,” kata Alya.
“Hus! Bukan,” kataku cepat-cepat.
“Kenapa gak kamu buka sendiri aja Rhe?,” Tanya Farah.
“Aku pengen kamu aja yang baca. Aku gak yakin surat itu buat aku,” jawabku.
Farah lalu membuka surat itu. Di sisi kanan kertas tertulis.
Untuk Rhe.
“Surat ini buat kamu lho Rhe,” kata Farah kemudian.
“Hah?,” keningku berkerut.
“Ekspresinya jelek banget,” kata Alya.
“Apaan sih?,” kataku agak kesal.
“Aku juga mau lihat, Far,” kata Alya.
Akhirnya aku juga ikut membaca surat itu.
Aku tak mengerti mengapa semakin hari pikiran tentangmu semakin menyita waktuku..
Berkali kuingkari, kucoba tuk hindari.
Namun, bayanganmu tak mau menyingkir dari sudut pikiranku.
Terkadang aku tak tahu aku harus berbuat apa.
Aku bertanya pada diriku sendiri, apa aku sudah gila?
Tidak, aku tidak gila. Aku hanya sedang jatuh cinta.
Jatuh cinta pada seseorang yang tidak pernah kusangka
Memasuki hatiku tanpa kuketahui..
Padahal, hari sudah berlalu begitu lama. Namun, tak juga ingin pergi..
“Gak ada namanya,” kata Farah.
“Ih, lebay banget kata-katanya,” kata Alya.
“Astaghfirullahaladzim,” kataku.
“Kenapa Rhe? Kok malah istighfar?,” Tanya Alya.
“Kayaknya aku harus muhasabah deh. Masa sih ada orang yang sampe geer sama aku? Aku gak mau dianggap godain orang,” kataku.
“Alhamdulillah kalo kamu punya pikiran kayak gitu. Sebaiknya kamu harus lebih hati-hati lagi Rhe,” kata Farah.
“Iya,” kataku.
“Kata-kata picisan kayak gitu wajib dicurigai,” kata Alya.
---
Di koridor Yudhis dan teman-temannya sedang membicarakan Rhe.
“Loe udah ngasih surat ke dia?,” kata salah satu teman Yudhis.
“Cepet juga action loe,” tambah yang lain.
“Gue kan udah bilang, gue gak pernah dengan kata-kata gue. Tapi, tetep aja harus ada reward  buat gue,” kata Yudhis.
“Loe yakin bisa naklukkin dia?”
“Kenapa gak? Yudhis gak pernah gagal soal cewek,” kata Yudhis tanpa ragu.
“Iya juga sih. Jarang banget ada cewek yang nolak loe. Primadona sekolah sekelas Gizza aja gak bisa nolak loe. Malah mereka ngejar-ngejar loe apalagi cewek biasa kayak si Rhe?”
“Eh, itu anaknya. Bentar ya, gue samperin dia dulu”
“Loe serius?”
“Cuma lewat cara ini gue bisa balas dendam. Cewek itu bener-bener rese. Dia yang paling rese diantara semua anak Rohis”
---
Aku kembali ke kelas dengan surat itu di tanganku. Aku terus berfikir, siapa yang melakukan ini padaku? Apa dia ingin membuat nama Rohis sekolah yang terkenal konsisten dan militan menjadi sama saja dengan yang lain? Astaghfirullah, lagi-lagi aku beristighfar. Ya Allah, semoga saja aku bukan termasuk wanita yang tidak bisa menjaga hati dan kesuciannya.
“Udah baca suratnya?,” seseorang menghampiriku.
Aku kaget. Yudhis.
“Jadi...”
“Udah baca berarti?”
“Apa maksud kamu?”
“Gak perlu pura-pura gak ngerti. Tanya aja hati kamu,” katanya dan langsung pergi.
Aku tidak sempat mencegahnya.
Ya Allah, itu beneran Yudhis.
---
“Hah? Si Yudhis? Yang bener Rhe?,” kata Alya tak percaya.
“Aku juga gak pengen percaya, Al. Tapi, dianya ngomong gitu,” kataku.
“Wah, si Yudhis kok kayak gitu ya?,” kata Alya.
“Ayo, temenin aku ke lapangan basket. Dia ada di sana. Aku mau balikin ini,” kataku.
Akhirnya, aku dan Alya ke lapangan basket. Hari ini memang adalah jadwal latihan Club Basket sekolah. Saat kami datang mereka sedang bermain basket. Walau hanya latihan, banyak sekali yang menonton terutama para siswi yang mengidolakan Yudhis. Dia memang sangat mahir bermain basket. Tapi, tetap saja gayanya seperti remaja kebanyakan. Jauh dari Islam.
Aku dan Alya berdiri di tribun yang agak jauh dari kerumunan penonton. Lautan siswa yang berikhtilat. Campur baur yang sangat lazim terlihat di kalangan remaja sekarang. Pergaulan yang sudah rusak, karena sistem hidup yang juga rusak. Miris rasanya melihat teman-teman seperti itu. Segala sesuatu dilihat dari fisik dan diukur dengan uang.
“Rhe, si Yudhis nengok ke sini,” kata Alya. Aku tersadar. Dan benar saja. Yudhis melihat ke arah kami sambil tersenyum setelah memasukkan bola ke dalam ring dengan tembakan 3 points. Sontak siswi-siswi langsung berteriak histeris dan meneriakkan namanya. Mereka semua tidak tahu kalau ada dua orang lagi di atas tribun selain mereka.
“Semoga aja bukan senyum ke kita, Al,” kataku.
“Bener-bener tuh orang. Playboy stadium akhir. Gak puas ngegoda primadona sekolah sekarang ngegoda anak Rohis. Kurang kerjaan,” kata Alya mulai kesal.
“Gitu deh kalo hidup Cuma buat seneng-seneng, Al. Mengatasnamakan kesucian cinta buat memenuhi hawa nafsu,” kataku pada Alya.
“Kamu bener, Rhe. Alhamdulillah kita bisa dapat hidayah dengan gabung di Rohis. Kalo gak, kita bakalan sama aja kayak mereka,” kata Alya.
Kami menunggu sampai lapangan sepi. Kemudian, aku dan Alya menghampiri Yudhis yang sedang istirahat di bangku pemain bersama teman-temannya. Saat aku datang, teman-teman Yudhis sibuk menggodanya.
“Ehm, baru juga diceritain”
“Barusan anak Rohis nonton latihan basket”
“Aku mau balikin ini,” kataku seolah tak mendengar kata-kata teman-teman Yudhis. Aku lalu meletakkan cokelat dan surat di bangku.
“Kok dibalikin? Itu buat kamu,” kata Yudhis.
“Aku gak bisa nerima ini. Ini bukan hak aku,” balasku.
“Aku kan ngasihnya ikhlas, Rhe,” kata Yudhis lagi.
“Ikhlas aja gak cukup. Caranya harus bener. Cara kamu salah, Yudhis. Kamu gak seharusnya ngasih ini ke aku. Dalam Islam bukan kayak gini cara ngasih hadiah, apalagi ke lawan jenis. Semua ada aturannya. Begitupun dengan mengekspresikan cinta. Islam gak pernah mengajarkan untuk mengekspresikan cinta dengan hawa nafsu kita sendiri. Cara kamu salah meski mungkin kamu sungguh-sungguh. Dan itu sia-sia. Justru harusnya kamu yang nanya hati kamu, apa itu beneran cinta? Atau ada hal lain dibalik kata-kata cinta itu? Cinta terlalu suci untuk dijadikan bahan lelucon. Aku gak minta pembuktian dari kamu. Aku juga gak nantangin kamu. Merenunglah. Kamu udah bisa mikir. Aku yakin kamu gak bodoh,” aku menjelaskan panjang-lebar di hadapan mereka semua. Teman-teman Yudhis melongo mendengar penjelasanku. Yudhis hanya terdiam. Entah dia sedang mencerna kata-kataku untuk memikirkannya ataukah dia sedang menahan emosinya.
“Kayaknya aku udah terlalu banyak ngomong. Aku permisi. Assalamualaikum,” kataku langsung pergi diikuti Alya.
---
Setelah hari itu, Yudhis sudah tidak pernah menggangguku lagi. Di sekolah, lewat telepon ataupun SMS. Dia juga mulai berubah. Dia jadi lebih pendiam dan tidak tebar pesona lagi. Dan yang paling mencengangkan adalah sekarang dia lebih sering di mushola bersama teman-teman rohis. Teman-temannya pun kadang bersamanya. Dia juga sudah jarang ada di lapangan basket. Sepertinya dia mulai serius dalam OSIS yang dulu sering diabaikannya. Dia hanya menggunakan OSIS untuk kepentingannya. Tak jarang kami adu argumen karena ide-idenya yang menurutku sangat tidak baik. Sekarang, sepertinya dia lebih serius. Dia juga jarang terlihat pulang bersama lawan jenisnya lagi.
Tetapi, hari ini aku kembali menemukan sebuah amplop berisi surat di laci mejaku. Aku cepat-cepat membukanya dan mulai membacanya.
Untuk Rhe.
Aku minta maaf kalo lagi-lagi aku lancang naruh surat di laci meja kamu. Tapi, aku pengen kamu tahu kalo surat ini beda dengan suratku yang kemarin.
Pertama, aku minta maaf karena udah gangguin kamu. Wajar kalo kamu jadi kesal dan tambah antipati sama aku. Aku juga minta maaf karena waktu itu aku sengaja kayak gitu dan semua itu untuk balas dendam sama kamu. Aku gak suka dengan sikap kamu yang menurutku terlalu sok paling bener dalam segala hal. Kamu selalu bawa-bawa Islam setiap kali kita adu argumen. Sekarang, aku mulai mengerti kenapa kamu begitu keras kepala dengan pendapat-pendapat kamu waktu itu.
Kedua, aku berterima kasih sama kamu. Penjelasan kamu waktu itu bikin aku berpikir lama banget sampai akhirnya terbersit keinginan untuk tahu apa yang sebenarnya kamu dapatkan di Rohis. Dan saat aku tahu apa yang kalian pelajari di sana, aku seperti ditampar. Ternyata, selama ini aku hidup dalam kesia-siaan.
Kamu bener Rhe, aku yang harusnya nanya hati aku. Semoga Allah masih mau ngasih ampunanNya untuk aku atas semua kesalahan-kesalahanku. Atas cinta yang aku kotori dengan hawa nafsuku. Padahal, hanya kepadaNya harusnya aku memberi cintaku dan mencintai yang lain hanya karenaNya.  
Setelah hari ini, aku akan mendekati Allah lebih dari sebelumnya. Aku akan mencintaiNya dengan cinta yang sebenarnya. Aku akan memberikan hatiku dan hidupku untuk selalu taat kepadaNya. Seperti kamu.
Terima kasih, Rhe,
Jika Allah mengizinkan aku mencintai seseorang karenaNya, aku ingin mencintai orang seperti kamu karena Dia.
Yudhis.

Kulipat surat itu sambil tersenyum. Alhamdulillah, ternyata dia merenungi kata-kataku waktu itu.
“Hayoo, ada apa senyum-senyum sendiri?,” Alya tiba-tiba datang.
“Alya, aku kaget,” kataku.
“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?,” Tanya Alya.
“Ada deh,” kataku menggodanya.
“Aaah, Rhe. Jangan gitu. Kamu sekarang mulai rahasia-rahasiaan ya sama aku?,” kata Alya.
“Nanti aja aku kasih tau. Bentar lagi masuk,” kataku.
“Janji ya,” kata Alya.
“Iya,” balasku.
“Gitu dong. Rhe baik deh. Uhibbuki fillah,” katanya sambil tersenyum. Dia akan berkata seperti itu setiap kali aku mengabulkan keinginannya.
Yudhis. Syukurlah, dia mulai bisa memahami apa yang seharusnya dia lakukan. Siapa yang harus dia cintai lebih dari apapun. Sekarang, kita sedang belajar. Belajar untuk memahami agamaNya. Dan berusaha mencintaiNya dengan sebenar-benarnya cinta serta mewujudkannya dengan ketaatan yang sempurna serta berjuang demi tegaknya agamaNya hingga ajal menjemput.

-SELESAI-


Semoga aku bisa setegas dan se-istiqomah Rhe.
Malang, August, 17th 2011 M
Ramadhan, 17th 1432 H @ 11:53 AM. Menjelang sholat Dhuhur.


Special for Amelia Kurniawati yang udah mau baca cerpen super amatir ini :D 

4 comments:

  1. Tanoshikatta... <3

    Bikin yang versi mahasiswa donk mbaa...

    ReplyDelete
  2. Tunggu tanggal mainnya yaa :D

    ReplyDelete
  3. Hehe, cb baca juga note-ku di fb fit :) Ak jg posting cerpen amatir *lagi* :D

    ReplyDelete